Walaupun secara konstitusi perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, dalam pandangan Islam seharusnya hal itu tidak lantas menjadi pelanggaran terhadap fitrahnya sebagai perempuan. Bangaimana fitrah perempuan dalam pandangan Islam ? tunggu postingan berikutnya.
HAK
KONSTITUSIONAL PEREMPUAN
DAN TANTANGAN
PENEGAKANNYA[1]
Oleh: Jimly Asshiddiqie[2]
A.
Hak Asasi Manusia Dan Hak Konstitusional Warga
Negara
Hak asasi manusia merupakan
materi inti dari naskah undang-undang dasar negara modern. Demikian pula hak
dan kewajiban warga negara merupakan salah satu materi pokok yang diatur dalam
setiap undang-undang dasar sesuai
dengan paham konstitusi negara modern. Hak Asasi
Manusia (HAM), adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum,
Pemerintahan, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.[3]
Artinya, yang dimaksud sebagai hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada
diri setiap pribadi manusia. Karena itu, hak asasi manusia (the human rights) itu berbeda dari
pengertian hak warga negara (the
citizen’s rights). Namun, karena hak asasi manusia itu telah tercantum dengan tegas dalam UUD 1945,
sehingga juga telah resmi menjadi hak konstitusional setiap warga negara atau “constitutional rights”.
Namun tetap harus dipahami bahwa tidak semua “constitutional rights”
identik dengan “human rights”. Terdapat hak
konstitusional warga negara (the
citizen’s constitutional rights) yang bukan atau tidak termasuk ke dalam
pengertian hak asasi manusia (human
rights). Misalnya, hak setiap warga negara untuk menduduki jabatan dalam
pemerintahan adalah “the citizen’s
constitutional rights”, tetapi tidak berlaku bagi setiap orang yang bukan
warga negara. Karena itu, tidak semua “the
citizen’s rights” adalah “the human
rights”, akan tetapi dapat dikatakan bahwa semua “the human rights” juga adalah sekaligus merupakan “the citizen’s rights”.
Di negara lain, pembedaan
semacam ini juga biasa dilakukan. Di Amerika Serikat, misalnya, biasa dibedakan
antara “the people’s rights” versus “the citrizen’s rights”. Umpamanya
diajukan pertanyaan, “Are you one of the
People of the United States as contemplated by the U.S. Constitution Preambule?
Or, are you one of the citizens of the United States as defined in the U.S.
Constitution 14th Amendment?”. “If
you are one the People of the United States, then all ten amendments are
available to you. You have natural rights. If you are a citizen of the United
States, then you have civil rights (properly called civil privilages)”.[4]
“Civil privileges” itu tidak dimiliki
oleh penduduk Amerika Serikat yang bukan warga negara Amerika Serikat.
Pengertian-pengertian
mengenai hak warga negara juga
harus dibedakan pula antara hak konstitusional dan
hak legal. Hak konstitutional (constitutional
rights) adalah hak-hak yang dijamin di dalam dan oleh UUD 1945, sedangkan hak-hak hukum (legal rights) timbul berdasarkan jaminan
undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya (subordinate legislations). Setelah
ketentuan tentang hak asasi manusia diadopsikan secara lengkap dalam UUD 1945,[5] pengertian
tentang hak asasi manusia dan hak asasi warga negara dapat dikaitkan dengan
pengertian “constitutional rights”
yang dijamin dalam UUD 1945. Selain
itu, setiap warga negara Indonesia memiliki juga
hak-hak hukum yang lebih rinci dan operasional yang diatur dengan undang-undang
ataupun peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah. Hak-hak yang lahir
dari peraturan di luar undang-undang dasar disebut hak-hak hukum (legal
rights), bukan hak konstitusional (constitutional
rights).
B. Hak Asasi Manusia Berdasarkan UUD 1945
Sebelum dilakukan perubahan, UUD 1945 dapat dikatakan tidak mencantumkan secara tegas mengenai
jaminan hak asasi manusia. Kalaupun dapat dianggap bahwa UUD 1945 juga
mengandung beberapa aspek ide tentang HAM, maka yang dirumuskan dalam UUD 1945
sangatlah sumir sifatnya. Setelah Perubahan UUD 1945, terutama perubahan kedua pada 2000,
ketentuan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan
yang sangat mendasar.
Materi yang semula hanya berisi tujuh butir ketentuan yang juga tidak
sepenuhnya dapat disebut sebagai jaminan hak asasi manusia, saat ini telah
bertambah secara signifikan, sehingga perumusannya menjadi lengkap dan
menjadikan UUD 1945 merupakan salah satu undang-undang dasar yang paling
lengkap memuat perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan disahkannya
Perubahan Kedua UUD 1945 pada 2000, materi baru ketentuan dasar tentang hak
asasi manusia itu dalam UUD 1945 dimuat dalam Pasal 28A ayat (1) sampai dengan
Pasal 28J ayat (2), yaitu sebagai berikut.
1) Setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan
hidup dan kehidupannya.[6] Pasal 28A ayat
(1) ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (i) setiap orang berhak untuk
hidup;[7] dan (ii) setiap
orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya;
2) Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.[8] Pasal 28B ayat
(1) ini dapat dibagi dua, yaitu: (i) setiap orang berhak untuk membentuk
keluarga melalui perkawinan yang sah; dan (ii) setiap orang berhak melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah;
3) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[9] Ketentuan Pasal
28B ayat (2) ini berisi dua prinsip, yaitu: (i) Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang; dan (ii) Setiap anak berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
4) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.[10] Pasal 28C ayat
(1) ini dapat pula dipecah-pecah dalam beberapa prinsip, yaitu: (i) setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia; (ii) setiap
orang berhak mendapat pendidikan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia; (iii) setiap orang berhak memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia;
5) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya;[11]
6) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.[12]
Dalam ketentuan ini tercakup juga pengertian hak atas pengakuan sebagai pribadi
di hadapan hukum yang menurut Pasal 28I ayat (1) merupakan hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun;
7) Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat
imbalan, dan mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;[13]
8) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan;[14]
9) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;[15]
10) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.[16] Pasal 28E ayat
(1) ini dapat dirinci ke dalam beberapa prinsip, yaitu: (i) setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;[17] (ii) setiap
orang bebas memilih pendidikan dan pengajaran; (iii) setiap orang bebas memilih
pekerjaan; (iv) setiap orang bebas memilih kewarganegaraan; (v) setiap orang
berhak memilih tempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkannya,[18] dan berhak
kembali lagi ke negaranya;
11) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya;[19]
12) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat (freedom of association), kebebasan
berkumpul[20]
(freedom of peaceful assembly), dan
kebebasan mengeluarkan pendapat[21] (freedom of expression)[22];
13) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.[23] Ketentuan ini
dapat dibagi menjadi dua, yaitu (i) setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, (ii)
setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia;
14) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.[24] Pasal 28G ayat
(1) ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (i) setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
di bawah kekuasaannya; dan (ii) setiap orang berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi;
15) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan
atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh
suaka politik dari negara lain.[25] Pasal 28G ayat
(2) ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu (i) setiap orang berhak untuk bebas
dari penyiksaan[26]
atau perlakuan lain yang merendahkan derajat martabat manusia, dan (ii) setiap
orang berhak memperoleh suaka politik dari negara lain;
16) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan;[27]
17) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan;[28]
18) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat;[29]
19) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun;[30]
20) Setiap orang berhak
untuk hidup, untuk tidak disiksa, berhak atas kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut.[31]
Hak-hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun, yang dapat dirinci menjadi tujuh macam hak asasi manusia, yaitu
bahwa setiap orang mempunyai: (i) hak untuk hidup; (ii) hak untuk tidak
disiksa; (iii) hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani; (iv) hak atas
kebebasan beragama; (v) hak untuk tidak diperbudak; (vi) hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum; dan (vii) hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut;
21) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu;[32]
Dalam rangka menegakkan butir-butir ketentuan hak asasi tersebut di
atas, diatur pula mengenai kewajiban orang lain untuk menghormati hak asasi
orang lain serta tanggungjawab negara atas tegaknya hak asasi manusia itu,
yaitu:
1) Bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu;[33]
2) Bahwa identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban;[34]
3) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah;[35]
4) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan;[36]
5) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;[37]
6) Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis;[38]
Selain itu, dalam rumusan UUD 1945 pasca perubahan, terdapat pula
pasal-pasal selain Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J yang juga memuat ketentuan
mengenai hak-hak asasi manusia. Di samping Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J
tersebut, ketentuan yang dapat dikaitkan dengan hak asasi manusia terdapat pula
dalam Pasal 29 ayat (2), yaitu “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Pasal inilah yang sebenarnya paling memenuhi syarat untuk
disebut sebagai pasal hak asasi manusia yang diwarisi dari naskah asli UUD
1945. Sedangkan ketentuan lainnya, seperti Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28,
Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), serta Pasal 32 ayat (1) dan (2) bukanlah
ketentuan mengenai jaminan hak asasi manusia dalam arti yang sebenarnya,
melainkan hanya berkaitan dengan pengertian hak warga negara.
Ketentuan-ketentuan UUD 1945
tersebut di atas, jika dirinci butir demi butir, dapat mencakup prinsip-prinsip
dasar sebagai berikut:
1) Setiap orang berhak untuk hidup;[39]
2) Setiap orang berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya;[40]
3) Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga
melalui perkawinan yang sah;[41]
4) Setiap orang berhak melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah;[42]
5) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang;
6) Setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi;
7) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia; [43]
8) Setiap orang berhak mendapat pendidikan, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
9) Setiap orang berhak memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia;
10) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya;[44]
11) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum;[45]
12) Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat
imbalan, dan mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;[46]
13) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan;[47]
14) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;[48]
15) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya;[49]
16) Setiap orang bebas memilih pendidikan dan
pengajaran;[50]
17) Setiap orang bebas memilih pekerjaan;
18) Setiap orang bebas memilih kewarganegaraan;
19) Setiap orang berhak memilih tempat tinggal di
wilayah negara, meninggalkannya, dan berhak kembali lagi ke negara;
20) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya;[51]
21) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat (freedom of association) ;[52]
22) Setiap orang berhak atas kebebasan berkumpul (freedom of peaceful assembly);
23) Setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan
pendapat[53]
(freedom of expression);
24) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya;
25) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia;
26) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya;
27) Setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan
hak asasi;
28) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan[54] atau perlakuan
lain yang merendahkan derajat martabat manusia;
29) Setiap orang berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain;
30) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin;
31) Setiap orang berhak bertempat tinggal (yang baik
dan sehat);
32) Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat;
33) Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan;[55]
34) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan;[56]
35) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat;[57]
36) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun;[58]
37) Setiap orang berhak
untuk hidup;[59]
38) Setiap orang berhak untuk tidak disiksa;[60]
39) Setiap orang berhak atas kemerdekaan pikiran dan
hati nurani;[61]
40) Setiap berhak atas kebebasan beragama;[62]
41) Setiap orang berhak untuk tidak diperbudak;[63]
42) Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum;[64]
43) Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut.[65]
44) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun;[66]
45) Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.[67]
Berbagai ketentuan yang telah dituangkan dalam rumusan UUD 1945 itu
merupakan substansi yang berasal dari rumusan Ketetapan No.XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya menjelma menjadi materi UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Karena itu, untuk memahami substansi yang
diatur itu dalam UUD 1945, kedua instrumen yang terkait ini, yaitu TAP MPR
Nomor XVII/MPR/1998 dan UU No. 39 Tahun 1999 perlu dipelajari juga dengan
seksama.[68]
Selain itu, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hak
asasi manusia yang telah diadopsikan ke dalam sistem hukum nasional Indonesia
berasal dari konvensi-konvensi internasional, dan deklarasi universal hak asasi
manusia, serta berbagai instrumen hukum Internasional lainnya.[69]
C.
Hak Konstitusional Warga
Negara
Menjadi Warga Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945 mempunyai arti
yang sangat penting dalam sistem hukum dan pemerintahan. UUD 1945 mengakui dan
menghormati hak asasi setiap individu manusia yang berada dalam wilayah negara
Republik Indonesia. Penduduk Indonesia, apakah berstatus sebagai Warga Negara
Indonesia atau bukan diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak dasar yang
diakui universal. Prinsip-prinsip hak asasi manusia itu berlaku pula bagi setiap individu
Warga Negara Indonesia. Bahkan, di samping jaminan hak asasi manusia itu, setiap Warga Negara
Indonesia juga diberikan jaminan hak konstitusional dalam UUD 1945.
Di samping itu, terdapat
pula ketentuan mengenai jaminan hak asasi manusia tertentu yang hanya berlaku
bagi Warga Negara atau setidaknya bagi Warga Negara diberikan kekhususan atau
keutamaan-keutamaan tertentu, misalnya, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan
dan lain-lain yang secara bertimbal balik menimbulkan kewajiban bagi negara
untuk memenuhi hak-hak itu
khusus bagi Warga Negara Indonesia. Artinya, negara
Republik Indonesia tidak wajib memenuhi tuntutan warga negara asing untuk
bekerja di Indonesia ataupun untuk mendapatkan pendidikan gratis di Indonesia.
Hak-hak tertentu yang dapat dikategorikan sebagai hak konstitusional Warga
Negara adalah:
a. Hak asasi manusia tertentu yang hanya berlaku
sebagai hak konstitusional bagi Warga Negara Indonesia saja. Misalnya, (i) hak
yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap Warga
Negara berhak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan”; (ii) Pasal 27 ayat
(2) menyatakan, “Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan; (iii) Pasal 27 ayat (3) berbunyi, “Setiap Warga
Negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara”; (iv) Pasal 30 ayat
(1) berbunyi, “Tiap-tiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara”; (v) Pasal 31 ayat (1) menentukan, “Setiap
Warga Negara berhak mendapat pendidikan”; Ketentuan-ketentuan tersebut khusus
berlaku bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi setiap orang yang berada di
Indonesia;
b. Hak asasi manusia tertentu yang meskipun berlaku
bagi setiap orang, akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, khusus bagi Warga
Negara Indonesia berlaku keutamaan-keutamaan tertentu. Misalnya, (i) Pasal 28D
ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Setiap orang berhak untuk bekerja.....”. Namun,
negara dapat membatasi hak orang asing untuk bekerja di Indonesia. Misalnya,
turis asing dilarang memanfaatkan visa kunjungan untuk mendapatkan penghidupan
atau imbalan dengan cara bekerja di Indonesia selama masa kunjungannya itu;
(ii) Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Meskipun ketentuan
ini bersifat universal, tetapi dalam implementasinya, orang berkewarganegaraan
asing dan Warga Negara Indonesia tidak mungkin dipersamakan haknya. Orang asing
tidak berhak ikut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, misalnya, secara
bebas menyatakan pendapat yang dapat menimbulkan ketegangan sosial tertentu.
Demikian pula orang warga negara asing tidak berhak mendirikan partai politik
di Indonesia untuk tujuan mempengaruhi kebijakan politik Indonesia. (iii) Pasal
28H ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan”. Hal ini juga diutamakan bagi Warga Negara
Indonesia, bukan bagi orang asing yang merupakan tanggungjawab negara asalnya
sendiri untuk memberikan perlakuan khusus itu;
c. Hak Warga Negara untuk menduduki jabatan-jabatan
yang diisi melalui prosedur pemilihan (elected
officials), seperti Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Walikota, Kepala Desa,
Hakim Konstitusi, Hakim Agung, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, anggota
lembaga permusyawaratan dan perwakilan yaitu MPR, DPR, DPD dan DPRD, Panglima
TNI, Kepala Kepolisian RI, Dewan Gubernur Bank Indonesia, anggota komisi-komisi
negara, dan jabatan-jabatan lain yang diisi melalui prosedur pemilihan, baik
secara langsung atau secara tidak langsung oleh rakyat.
d. Hak Warga Negara untuk diangkat dalam
jabatan-jabatan tertentu (appointed
officials), seperti tentara nasional Indonesia, polisi negara, jaksa,
pegawai negeri sipil beserta jabatan-jabatan struktural dan fungsional dalam
lingkungan kepegawaian, dan jabatan-jabatan lain yang diisi melalui pemilihan.
Setiap jabatan (office,
ambt, functie) mengandung hak dan kewajiban serta tugas dan wewenang yang
bersifat melekat dan yang pelaksanaan atau perwujudannya terkait erat dengan
pejabatnya masing-masing (official,
ambtsdrager, fungsionaris) sebagai subyek yang menjalankan jabatan
tersebut. Semua jabatan yang dimaksud di atas hanya berlaku dan hanya dapat
diduduki oleh warga negara Indonesia sendiri sesuai dengan maksud ketentuan
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3). Pasal 27 ayat (1) menentukan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 28D ayat (3) berbunyi, “Setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Dengan demikian,
setiap warga negara Indonesia berhak untuk menduduki jabatan-jabatan kenegaraan
dan pemerintahan Republik Indonesia seperti yang dimaksud di atas. Penekanan
status sebagai warga negara ini penting untuk menjamin bahwa jabatan-jabatan
tersebut tidak akan diisi oleh orang-orang yang bukan warga negara Indonesia.
Dalam hal warga negara Indonesia dimaksud telah menduduki jabatan-jabatan
sebagaimana dimaksud di atas, maka hak dan kewajibannya sebagai manusia dan
sebagai warga negara terkait erat dengan tugas dan kewenangan jabatan yang
dipegangnya. Kebebasan yang dimiliki oleh setiap orang dibatasi oleh status
seseorang sebagai warga negara, dan kebebasan setiap warga negara dibatasi pula
oleh jabatan kenegaraan yang dipegang oleh warga negara yang bersangkutan.
Karena itu, setiap warga negara yang memegang jabatan kenegaraan wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditentukan berdasarkan tugas dan kewenangan jabatannya
masing-masing;
e. Hak untuk melakukan upaya hukum dalam melawan atau
menggugat keputusan-keputusan negara yang dinilai merugikan hak konstitusional
Warga Negara yang bersangkutan. Upaya hukum dimaksud dapat dilakukan (i)
terhadap keputusan administrasi negara (beschikkingsdaad
van de administratie), (ii) terhadap ketentuan pengaturan (regelensdaad van staat orgaan), baik
materiil maupun formil, dengan cara melakukan substantive judicial review (materiile
toetsing) atau procedural judicial
review (formele toestsing), atau
pun (iii) terhadap putusan hakim (vonnis)
dengan cara mengajukannya ke lembaga pengadilan yang lebih tinggi, yaitu
tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Misalnya, Pasal 51 ayat (1)
huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi[70] menentukan
bahwa perorangan Warga Negara Indonesia dapat menjadi pemohon perkara pengujian
undang-undang terhadap undang-undang dasar, yaitu dalam hal yang bersangkutan
menganggap bahwa hak (dan/atau kewenangan) konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya sesuatu undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.[71]
Sebagai imbangan terhadap adanya jaminan hak konstitusional warga negara
tersebut di atas, UUD 1945 juga mengatur dan menentukan adanya kewajiban
konstitusional setiap warga negara. Serupa dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban
dimaksud juga terdiri atas (i) kewajiban sebagai manusia atau kewajiban asasi
manusia, dan (ii) kewajiban sebagai warga negara. Bahkan, jika dibedakan lagi
antara hak dan kewajiban asasi manusia dengan hak dan kewajiban konstitusional
warga negara, maka kewajiban-kewajiban dimaksud juga dapat dibedakan antara (i)
kewajiban asasi manusia, (ii) kewajiban asasi warga negara, dan (iii) kewajiban
konstitusional warga negara. Yang dimaksud dengan kewajiban asasi manusia dan
warga negara adalah:
a. Kewajiban setiap orang untuk menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara seperti yang tercantum dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945;
b. Kewajiban setiap orang dalam menjalankan hak dan
kebebasannya untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;
c. Kewajiban setiap orang dan setiap warga negara
untuk membayar pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 23A UUD 1945;
d. Kewajiban setiap warga negara untuk ikut serta
dalam upaya pembelaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dan
untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) UUD 1945.
Subyek kedua macam kewajiban pertama tersebut di atas adalah “setiap
orang”. Karena itu, kedua kewajiban pertama di atas adalah kewajiban asasi
manusia atau kewajiban setiap orang, terlepas dari apakah ia berstatus sebagai
warga negara Indonesia atau bukan. Kedua kewajiban itu, berlaku juga bagi
setiap warga negara Indonesia, sehingga oleh karenanya dapat sekaligus disebut
sebagai kewajiban konstitusional warga negara Indonesia. Namun, di samping
kedua kewajiban di atas, setiap warga negara dan juga orang asing dibebani pula
kewajiban lain yang secara implisit lahir karena adanya kekuatan negara untuk
memaksakan kehendaknya melalui instrumen pajak dan pungutan lain sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 23A UUD 1945. Pasal ini menentukan, “Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang”. Kekuatan negara untuk memaksa itu melahirkan kewajiban kepada
setiap subyek wajib pajak dan subyek pungutan non-pajak berupa retribusi untuk
membayarkannya kepada negara. Oleh karena itu, kewajiban membayar pajak dan
pungutan lainnya merupakan kewajiban asasi setiap orang yang hidup di Indonesia
dan sekaligus merupakan kewajiban konstitusional setiap warga negara Indonesia.
Yang juga merupakan kewajiban setiap warga negara adalah untuk ikut
serta dalam upaya pembelaan negara[72] dan usaha
pertahanan dan keamanan negara.[73] Di samping
sebagai kewajiban, upaya pembelaan negara dan usaha pertahanan dan keamanan
negara ini juga adalah hak setiap warga negara Indonesia secara seimbang dan
bertimbal-balik. Karena itu, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam upaya pembelaan negara”. Sementara itu, Pasal 30 ayat (1) UUD
1945 berbunyi, “Tiap-tiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”.
Kedua ketentuan ini secara sepintas seperti pengulangan belaka, sehingga
menimbulkan kritik mengapa tidak diintegrasikan saja atau setidak-tidaknya
dirumuskan dalam satu pasal. Namun, karena perumusannya sudah demikian adanya,
maka keduanya harus dapat dibedakan satu dengan yang lain. Pasal 27 ayat (1)
mengatur tentang pembelaan negara yang bersifat umum, sedangkan Pasal 30 ayat
(1) mengatur tentang pertahanan dan keamanan negara. Yang terakhir ini
menekankan pembedaan antara usaha pertahanan yang terkait dengan pernan TNI dan
usaha keamanan negara yang terkait dengan peran POLRI.
D.
Hak Konstitusional
Perempuan dan Penegakannya
Hak konstitusional warga negara yang meliputi
hak asasi manusia dan hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 berlaku bagi
setiap warga negara Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari perumusannya yang
menggunakan frasa “setiap orang”, “segala warga negara”, “tiap-tiap warga negara”, atau ‘setiap warga
negara”, yang menunjukkan bahwa hak konstitusional dimiliki oleh setiap
individu warga negara tanpa pembedaan, baik berdasarkan suku, agama, keyakinan
politik, ataupun jenis kelamin. Hak-hak tersebut diakui dan dijamin untuk
setiap warga negara bagi laki-laki maupun perempuan.
Bahkan UUD 1945 juga menegaskan bahwa “Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”. Dengan demikian, jika terdapat ketentuan atau tindakan yang
mendiskriminasikan warga negara tertentu, hal itu melanggar hak asasi manusia
dan hak konstitusional warga negara, dan dengan sendirinya bertentangan dengan
UUD 1945. Oleh karena itu setiap perempuan Warga Negara Indonesia memiliki hak
konstitusional sama dengan Warga Negara Indonesia yang laki-laki. Perempuan
juga memiliki hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan
karena statusnya sebagai perempuan, ataupun atas dasar perbedaan lainnya. Semua
hak konstitusional yang telah diuraikan sebelumnya merupakan hak konstitusional
setiap perempuan Warga Negara Indonesia.
Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional
warga negara harus dilakukan sesuai dengan kondisi warga negara yang beragam. Realitas
masyarakat Indonesia menunjukkan adanya perbedaan kemampuan untuk mengakses
perlindungan dan pemenuhan hak yang diberikan oleh negara. Perbedaan kemampuan
tersebut bukan atas kehendak sendiri kelompok tertentu, tetapi karena struktur
sosial yang berkembang cenderung meminggirkannya.
Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional
yang dilakukan tanpa memperhatikan adanya perbedaan tersebut, dengan sendirinya
akan mempertahankan bahkan memperjauh perbedaan tersebut. Agar setiap warga
negara memiliki kemampuan yang sama dan dapat memperoleh perlindungan dan
pemenuhan hak konstitusional yang sama pula, diperlukan perlakuan khusus
terhadap kelompok tertentu. Hanya dengan perlakuan khusus tersebut, dapat dicapai
persamaan perlakuan dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional setiap
warga negara. Oleh karena itu, UUD 1945
menjamin perlakuan khusus tersebut sebagai hak untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama. Pasal 28H Ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan”.
Salah satu kelompok warga negara yang karena
kondisinya membutuhkan perlakuan khusus adalah perempuan. Tanpa adanya
perlakuan khusus, perempuan tidak akan dapat mengakses perlindungan dan
pemenuhan hak konstitusionalnya karena perbedaan dan pembedaan yang dihasilkan
dan dilanggengkan oleh struktur masyarakat patriarkis. Perlindungan dan
pemenuhan hak konstitusional tanpa adanya perlakuan khusus, justru akan
cenderung mempertahankan diskriminasi terhadap perempuan dan tidak mampu
mencapai keadilan.
Pentingnya menghapuskan diskriminasi terhadap
perempuan melalui perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan juga telah diakui secara
internasional. Bahkan hal itu diwujudkan dalam konvensi tersendiri, yaitu
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women
(CEDAW). Penghapusan diskriminasi melalui pemajuan perempuan menuju kesetaraan
jender bahkan dirumuskan sebagai kebutuhan dasar pemajuan hak asasi manusia
dalam Millenium Development Goals (MDGs). Hal itu diwujudkan dalam delapan area
upaya pencapaian MDGs yang diantaranya adalah; mempromosikan kesetaraan jender
dan meningkatkan keberdayaan perempuan, dan meningkatkan kesehatan ibu. Rumusan
tersebut didasari oleh kenyataan bahwa perempuan mewakili setengah dari jumlah
penduduk dunia serta sekitar 70% penduduk miskin dunia adalah perempuan.
Pada tingkat nasional upaya menghapuskan
diskriminasi terhadap perempuan dan mencapai kesetaraan jender telah dilakukan
walaupun pada tingkat pelaksanaan masih membutuhkan kerja keras dan perhatian
serius. CEDAW telah diratifikasi sejak 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984[74]. Upaya
memberikan perlakuan khusus untuk mencapai persamaan jender juga telah
dilakukan melalui beberapa peraturan perundang-undangan, baik berupa
prinsip-prinsip umum[75], maupun dengan
menentukan kuota tertentu[76]. Bahkan, untuk
memberikan perlindungan terhadap perempuan yang sering menjadi korban
kekerasan, telah dibentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga[77].
Tantangan penegakan hak konstitusional warga
negara dengan sendirinya juga merupakan tantangan bagi penegakan hak
konstitusional perempuan. Di sisi lain, karena perbedaan yang ada dalam masyarakat, tantangan penegakan hak
konstitusional bagi perempuan tentunya lebih berat dan memerlukan perlakuan-perlakuan
khusus. Penegakan hak konstitusional perempuan sebagaimana dijamin dalam UUD
1945 tentu harus melibatkan semua komponen bangsa, baik lembaga dan pejabat
negara maupun warga negara, baik perempuan maupun laki-laki. Ketentuan
konstitusional tersebut diwujudkan melalui seperangkat aturan hukum dan kebijakan
yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Oleh karena itu upaya penegakan hak
konstitusional harus dilakukan baik dari sisi aturan, struktur, maupun dari
sisi budaya.
Disamping ketentuan-ketentuan hukum yang telah
memberikan perlakuan khusus terhadap perermpuan, atau paling tidak telah
disusun dengan perspektif kesetaraan jender, tentu masih terdapat peraturan
perundang-undangan yang dirasakan bersifat diskriminatif terhadap perempuan,
atau paling tidak belum sensitif jender. Apalagi hingga saat ini masih banyak
berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa
pemerintahan kolonial Belanda. Untuk itu upaya identifikasi dan inventarisasi
harus dilakukan yang diikuti dengan penataan dan penyesuaian berdasarkan UUD 1945
pasca perubahan. Hal itu dapat dilakukan dengan mendorong dilakukannya
legislatif review kepada pembentuk undang-undang atau melalui mekanisme
judicial review. Terkait dengan wewenang Mahkamah Konstitusi, setiap perempuan
Warga Negara Indonesia yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh suatu
undang-undang, atau tidak mendapat perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, tentu dapat
mengajukan permohonan pengujian undang-undang tersebut terhadap Undang-Undang
Dasar kepada Mahkamah Konstitusi.
Selain dari sisi substansi aturan hukum,
tantangan yang dihadapi adalah dari struktur penegakan hukum dan konstitusi.
Untuk mencapai perimbangan keanggotaan DPR dan DPRD misalnya, tidak cukup
dengan menentukan kuota calon perempuan sebanyak 30% yang diajukan oleh setiap
partai politik. Ketentuan tentang kuota itu tentu harus menjamin bahwa tingkat
keterwakilan perempuan di parlemen akan semakin besar. Padahal, saat ini jumlah
anggota DPR perempuan baru 11 persen, di DPD 21%. Bahkan jumlah pegawai negeri
sipil eselon I yang perempuan hanya 12,8%. Untuk itu, perlu dirumuskan
mekanisme yang dapat menjamin keterwakilan perempuan di sektor publik semakin
meningkat di masa mendatang.
Tantangan di bidang struktur penegak hukum juga
diperlukan misalnya terkait dengan proses hukum dalam kasus kekerasan terhadap
perempuan. Sebagai korban atau saksi, perempuan memerlukan kondisi tertentu
untuk dapat memberikan keterangan dengan bebas tanpa tekanan. Untuk itu proses
perkara, mulai dari penyelidikan hingga persidangan perlu memperhatikan kondisi
tertentu yang dialami perempuan. Misalnya saat dilakukan penyidikan, perempuan
korban kekerasan tentu membutuhkan ruang tersendiri, apalagi jika kekerasan
tersebut adalah kekerasan seksual yang tidak semua perempuan mampu
menyampaikannya secara terbuka. Demikian pula terkait dengan persidangan yang
membutuhkan jaminan keamanan baik fisik maupun psikis.
Yang tidak kalah pentingnya dalam upaya
menegakan hak konstitusional perempuan, adalah menumbuhkan budaya sadar
berkonstitusi terutama yang terkait dengan hak konstitusional perempuan. Hal
ini semakin penting karena kendala yang dihadapi selama ini memiliki akar
budaya dalam masyarakat Indonesia. Akar budaya tersebut melahirkan dua
hambatan, pertama, adalah dari sisi perempuan itu sendiri; dan kedua, dari
masyarakat secara umum. Walaupun telah terdapat ketentuan yang mengharuskan
mempertimbangkan prinsip kesetaraan jender dalam pimpinan partai politik
misalnya, namun hal itu sulit dipenuhi salah satunya karena sedikitnya
perempuan yang aktif di dunia politik. Demikian pula dengan pemenuhan kuota 30%
dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD oleh partai politik. Sebaliknya, sering
pula terjadi, seorang perempuan yang layak dipilih atau diangkat untuk jabatan
tertentu, namun tidak dipilih atau diangkat karena dinilai perempuan mempunyai
kelemahan tertentu dibanding laki-laki.
Hal itu menunjukkan bahwa adanya peraturan
perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan hak konstitusional perempuan tidak
cukup untuk memastikan tegaknya hak konstitusional tersebut. Peraturan
perundang-undangan harus diikuti dengan adanya penegakan hukum yang sensitif
jender serta yang tidak kalah pentinganya adalah perubahan budaya yang
cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Untuk mengubah nilai budaya
tertentu bukanlah hal yang mudah, bahkan tidak dapat dilakukan dengan paksaan
hukum. Cara yang lebih tepat adalah dengan merevitalisasi nilai budaya setempat
merefleksikan pengakuan terhadap hak-hak perempuan sehingga dapat dengan mudah
diterima oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia
dalam Transisi Politik Di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia.
Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
--------------------------.
Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
--------------------------. Pokok-Pokok Hukum
Tata Negara Pasca Reformasi. Jakarta: BIP Gramedia, 2006.
Baehr, Peter and Pieter van Dijk dkk. (eds). Instrumen Internasional Pokok
Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2001.
Chemerinsky, Erwin. Constitutional Law: Principles
and Policies New York: Aspen Law and
Business, 1997.
Ferejohn, John, Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional Culture and Democratic Rule.
Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
Senate Document 99-16, “The Constitution of the
United States of America, Analysis and Interpretation”. http://www.chrononhotonthologos.com/lawnotes/ pvcright.htm.
[1] Disampaikan
pada acara Dialog Publik dan Konsultasi Nasional Komnas Perempuan “Perempuan
dan Konstitusi di Era Otonomi Daerah: Tantangan dan Penyikapan Bersama”.
Jakarta, 27 Nopember 2007.
[2] Ketua Mahkamah
Konstitusi
[3] Lihat Pasal 1
angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
[4] Lihat Senate
Document 99-16, “The Constitution of the United States of America, Analysis and
Interpretation”, pages 956, 957, footnote 12. lihat http://www.chrononhotonthologos.com/lawnotes/pvcright.htm.
[5] Lihat
Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000.
[6] Pasal 28A UUD
1945.
[7] Hak untuk
hidup ini menurut ketentuan Pasal 28I ayat (1) termasuk kategori hak yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
[8] Pasal 28B
ayat (1) UUD 1945.
[9] Pasal 28B
ayat (2) UUD 1945, dan hak ini berlaku sebagai hak anak.
[10] Pasal 28C
ayat (1) UUD 1945.
[11] Pasal 28C
ayat (2) UUD 1945.
[12] Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
[13] Pasal 28D
ayat (2) UUD 1945.
[14] Pasal 28D
ayat (3) UUD 1945. Namun, ketentuan ini hanya berlaku bagi warga negara
Indonesia, sehingga tidak seharusnya dipahami dalam konteks pengertian hak
asasi manusia.
[15] Pasal 28D
ayat (4) UUD 1945.
[16] Pasal 28E
ayat (1) UUD 1945.
[17] Hak ini
termasuk golongan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.
[18] Dalam
pengertian ini, termasuk juga hak untuk mendapatkan suaka politik dari negara
lain.
[19] Pasal 28E
ayat (2) UUD 1945. Ketentuan ini menurut Pasal 28I ayat (1) termasuk golongan
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
[20] Kebebasan
atau kemerdekaan berkumpulan ini biasanya dipahami dalam konteks pengertian perkumpulan
damai atau peaceful assembly, bukan
dalam arti berkumpul untuk tujuan kekerasan atau perbuatan yang anti demokrasi
lainnya.
[21] Khusus
mengenai kebebasan berpendapat ini, menurut Pasal 28I ayat (1) tergolong hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
[22] Pasal 28E
ayat (3) UUD 1945.
[23] Pasal 28F UUD
1945.
[24] Pasal 28G
ayat (1) UUD 1945.
[25] Pasal 28G
ayat (2) UUD 1945.
[26] Hak untuk
tidak disiksa ini menurut Pasal 28I ayat (1) termasuk golongan hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
[27] Pasal 28H
ayat (1) UUD 1945.
[28] Pasal 28H
ayat (2) UUD 1945.
[29] Pasal 28H
ayat (3) UUD 1945.
[30] Pasal 28H
ayat (4) UUD 1945.
[31] Pasal 28I
ayat (1) UUD 1945.
[32] Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945.
[33] Pasal 29 ayat
(2) UUD 1945.
[34] Pasal 28I
ayat (3) UUD 1945.
[35] Pasal 28I
ayat (4) UUD 1945.
[36] Pasal 28I
ayat (5) UUD 1945.
[37] Pasal 28J
ayat (1) UUD 1945.
[38] Pasal 28J
ayat (2) UUD 1945.
[39] Pasal 28A
butir 1, Hak untuk hidup ini menurut ketentuan Pasal 28I ayat (1) termasuk
kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
[40]Ibid., Pasal 28A butir 2.
[41] Pasal 28B
ayat (1) UUD 1945.
[42] Ibid.
[43] Pasal 28C
ayat (1) UUD 1945.
[44] Pasal 28C
ayat (2) UUD 1945.
[45] Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
[46] Pasal 28D
ayat (2) UUD 1945.
[47] Pasal 28D
ayat (3) UUD 1945. Namun, ketentuan ini hanya berlaku bagi warga negara
Indonesia, sehingga tidak seharusnya dipahami dalam konteks pengertian hak
asasi manusia.
[48] Pasal 28D
ayat (4) UUD 1945.
[49] Pasal 28E
ayat (1) UUD 1945, Hak ini termasuk golongan hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.
[50] Ibid.
[51] Pasal 28E
ayat (2) UUD 1945. Ketentuan ini menurut Pasal 28I ayat (1) termasuk golongan
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
[52] Pasal 28E
ayat (3) UUD 1945. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi, Konpress, Jakarta, 2005.
[53] Khusus
mengenai kebebasan berpendapat ini, menurut Pasal 28I ayat (1) tergolong hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
[54] Hak untuk
tidak disiksa ini menurut Pasal 28I ayat (1) termasuk golongan hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
[55] Pasal 28H
ayat (1) UUD 1945.
[56] Pasal 28H
ayat (2) UUD 1945. Prinsip yang diatur disini adalah ketentuan perlakuan khusus
yang dinamakan “affirmative action”
sebagai diskriminasi yang bersifat positif. Perlakuan khusus dalam bentuk
diskriminasi positif ini dipandang dapat diterima sepanjang dimaksudkan untuk
tujuan mencapai persamaan dan keadilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28H ayat
(2) ini. Bandingkan juga dengan Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies, Aspen Law and
Business, New York, 1997, hal. 585.
[57] Pasal 28H
ayat (3) UUD 1945.
[58] Pasal 28H
ayat (4) UUD 1945.
[59] Hak-hak ini
ditentukan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 sebagai hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, yang mencakup tujuh macam hak asasi
manusia, yaitu bahwa setiap orang mempunyai: (i) hak untuk hidup; (ii) hak
untuk tidak disiksa; (iii) hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani; (iv)
hak atas kebebasan beragama; (v) hak untuk tidak diperbudak; (vi) hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan (vii) hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut.
[60] Ibid.
[61] Ibid.
[62] Ibid.
[63] Ibid.
[64] Ibid.
[65] Ibid.
[66] Ketentuan ini
juga biasa disebut dengan prinsip “equal
protection”. Namun, dalam perkembangannya, prinsip ini juga mengakui adanya
pengecualian berupa “affirmative action”.
Dalam praktik di Amerika Serikat, pengecualian ini diakui seperti dalam “racial classifications benefiting minorities”,
lihat Erwin Chemerinsky, Op.Cit.,
hal. 585, atau dalam “gender
classifications benefiting women”, Ibid.,
hal. 609. “Affirmative action”
seperti ini justru dipandang sebagai hak asasi juga yang harus dilindungi
menurut ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
[67] Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945.
[68] Tentang hal
ini, lihat Satya Arinanto, Hak Asasi
Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi HTN FHUI, Jakarta,
2003, hal.21-30.
[69] Baca Peter
Baehr, Pieter van Dijk dkk, eds, Instrumen
Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
2001.
[70] LN-RI Tahun
2003 Nomor 98, TLN-RI Nomor 4316.
[71] Hal ini
dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang salah
satu amar putusannya adalah menyatakan permohonan Pemohon III dan IV tidak
dapat diterima karena para pemohon tersebut adalah warga negara asing. Dengan
demikian, Warga negara asing tidak memiliki legal
standing mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar.
[72] Pasal 27 ayat
(3) UUD 1945.
[73] Pasal 30 ayat
(1) UUD 1945.
[74] Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3277.
[75] Misalnya
Pasal 13 Ayat (3) UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik menyatakan
“Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis
melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender”.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4251.
[76] Misalnya
Pasal 65 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
menyatakan “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan
dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277.
[77] Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar