Hikmah dan Manfaat Agung Poligami
Karena
poligami disyariatkan oleh Allah Ta’ala
yang mempunyai nama al-Hakim,
artinya Zat yang memiliki ketentuan hukum yang maha adil dan hikmah yang maha sempurna, maka hukum Allah Ta’ala yang mulia ini
tentu memiliki banyak hikmah dan faidah yang agung, di antaranya:
Pertama: Terkadang poligami harus dilakukan
dalam kondisi tertentu. Misalnya jika istri sudah lanjut usia atau sakit,
sehingga kalau suami tidak poligami dikhawatirkan dia tidak bisa menjaga
kehormatan dirinya. Atau jika suami dan istri sudah dianugerahi banyak
keturunan, sehingga kalau dia harus menceraikan istrinya, dia merasa berat
untuk berpisah dengan anak-anaknya, sementara dia sendiri takut terjerumus
dalam perbuatan zina jika tidak berpoligami. Maka masalah ini tidak akan bisa
terselesaikan kecuali dengan poligami, insya
Allah.
Kedua: Pernikahan merupakan sebab
terjalinnya hubungan (kekeluargaan) dan keterikatan di antara sesama manusia,
setelah hubungan nasab. Allah Ta’ala
berfirman,
{وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا
وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا}
“Dan Dia-lah yang menciptakan manusia
dari air (mani), lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah
(hubungan kekeluargaan karena pernikahan), dan adalah Rabbmu Maha Kuasa”
(QS al-Furqaan:54).
Maka
poligami (adalah sebab) terjalinnya hubungan dan kedekatan (antara) banyak
keluarga, dan ini salah satu sebab poligami yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Ketiga: Poligami merupakan sebab terjaganya
(kehormatan) sejumlah besar wanita, dan terpenuhinya kebutuhan (hidup) mereka,
yang berupa nafkah (biaya hidup), tempat tinggal, memiliki keturunan dan anak
yang banyak, dan ini merupakan tuntutan syariat.
Keempat: Di antara kaum laki-laki ada yang
memiliki nafsu syahwat yang tinggi (dari bawaannya), sehingga tidak cukup
baginya hanya memiliki seorang istri, sedangkan dia orang yang baik dan selalu
menjaga kehormatan dirinya. Akan tetapi dia takut terjerumus dalam perzinahan,
dan dia ingin menyalurkan kebutuhan (biologis)nya dalam hal yang dihalalkan
(agama Islam), maka termasuk agungnya rahmat Allah Ta’ala terhadap manusia adalah dengan
dibolehkan-Nya poligami yang sesuai dengan syariat-Nya.
Kelima: Terkadang setelah menikah ternyata
istri mandul, sehingga suami berkeinginan untuk menceraikannya, maka dengan
disyariatkannya poligami tentu lebih baik daripada suami menceraikan istrinya.
Keenam: Terkadang juga seorang suami sering
bepergian, sehingga dia butuh untuk menjaga kehormatan dirinya ketika dia
sedang bepergian.
Ketujuh: Banyaknya peperangan dan
disyariatkannya berjihad di jalan Allah, yang ini menjadikan banyak laki-laki
yang terbunuh sedangkan jumlah perempuan semakin banyak, padahal mereka
membutuhkan suami untuk melindungi mereka. Maka dalam kondisi seperti ini
poligami merupakan solusi terbaik.
Kedelapan: Terkadang seorang lelaki
tertarik/kagum terhadap seorang wanita atau sebaliknya, karena kebaikan agama
atau akhlaknya, maka pernikahan merupakan cara terbaik untuk menyatukan mereka
berdua.
Kesembilan: Kadang terjadi masalah besar antara
suami-istri, yang menyebabkan terjadinya perceraian, kemudian sang suami
menikah lagi dan setelah itu dia ingin kembali kepada istrinya yang pertama,
maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.
Kesepuluh: Umat Islam sangat membutuhkan
lahirnya banyak generasi muda, untuk mengokohkan barisan dan persiapan berjihad
melawan orang-orang kafir, ini hanya akan terwujud dengan poligami dan tidak
membatasi jumlah keturunan.
Kesebelas: Termasuk hikmah agung poligami,
seorang istri memiliki kesempatan lebih besar untuk menuntut ilmu,
membaca al-Qur’an dan mengurus rumahnya dengan baik, ketika suaminya sedang di
rumah istrinya yang lain. Kesempatan seperti ini umumnya tidak didapatkan oleh
istri yang suaminya tidak berpoligami.
Keduabelas: Dan termasuk hikmah agung poligami,
semakin kuatnya ikatan cinta dan kasih sayang antara suami dengan
istri-istrinya. Karena setiap kali tiba waktu giliran salah satu dari
istri-istrinya, maka sang suami dalam keadaan sangat rindu pada istrinya
tersebut, demikian pula sang istri sangat merindukan suaminya.
Masih
banyak hikmah dan faedah agung lainnya, yang tentu saja orang yang beriman
kepada Allah dan kebenaran agama-Nya tidak ragu sedikitpun terhadap
kesempurnaan hikmah-Nya dalam setiap ketentuan yang disyariatkan-Nya. Cukuplah
sebagai hikmah yang paling agung dari semua itu adalah menunaikan perintah
Allah Ta’ala
dan mentaati-Nya dalam semua ketentuan hukum yang disyariatkan-Nya.
Arti Sikap “Adil” dalam Poligami
Allah
Ta’ala memerintahkan
kepada semua manusia untuk selalu bersikap adil dalam semua keadaan, baik yang
berhubungan dengan hak-Nya maupun hak-hak sesama manusia, yaitu dengan
mengikuti ketentuan syariat Allah Ta’ala
dalam semua itu, karena Allah Ta’ala
mensyariatkan agamanya di atas keadilan yang sempurna. Allah Ta’ala berfirman,
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ
ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS
an-Nahl:90).
Termasuk
dalam hal ini, sikap “adil”
dalam poligami, yaitu adil (tidak berat sebelah) dalam mencukupi kebutuhan para
istri dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan bermalam bersama mereka.
Dan ini tidak berarti harus adil dalam segala sesuatu, sampai dalam hal yang
sekecil-kecilnya, yang ini jelas di luar kemampuan manusia.
Sebab
timbulnya kesalahpahaman dalam masalah ini, di antaranya karena hawa nafsu dan
ketidakpahaman terhadap agama, termasuk kerancuan dalam memahami firman Allah Ta’ala
{وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ}
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung”
(QS an-Nisaa’:129).
Marilah
kita lihat bagaimana para ulama Ahlus sunnah memahami firman Allah yang mulia
ini.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Sebagian dari para ulama
ahli tafsir (menjelaskan makna firman Allah Ta’ala):
“Dan kamu sekali-kali tidak
akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu)…”, (artinya:
berlaku adil) dalam perasaan yang ada dalam hati (rasa cinta dan kecenderungan
hati), karena Allah Ta’ala
mengampuni bagi hamba-hamaba-Nya terhadap apa yang terdapat dalam hati mereka.
“…karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…” artinya: janganlah
kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melakukan perbuatan (yang
menyimpang dari syariat). Dan penafsiran ini sangat sesuai/tepat. Wallahu a’lam”.
Imam al-Bukhari membawakan firman Allah Ta’ala ini dalam bab: al-‘adlu bainan nisaa’
(bersikap adil di antara para istri), dan Imam Ibnu Hajar menjelaskan makna ucapan
imam al-Bukhari tersebut, beliau berkata, “Imam al-Bukhari mengisyaratkan
dengan membawakan ayat tersebut bahwa (adil) yang dinafikan dalam ayat ini
(adil yang tidak mampu dilakukan manusia) adalah adil di antara istri-istrinya
dalam semua segi, dan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (yang shahih) menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan adil (dalam poligami) adalah menyamakan semua istri (dalam kebutuhan
mereka) dengan (pemberian) yang layak bagi masing-masing dari mereka. Jika
seorang suami telah menunaikan bagi masing-masing dari para istrinya (kebutuhan
mereka yang berupa) pakaian, nafkah (biaya hidup) dan bermalam dengannya
(secara layak), maka dia tidak berdosa dengan apa yang melebihi semua itu,
berupa kecenderungan dalam hati, atau memberi hadiah (kepada salah satu dari
mereka)…Imam at-Tirmidzi berkata, “Artinya: kecintaan dan kecenderungan (dalam
hati)”, demikianlah penafsiran para ulama (ahli tafsir)…Imam al-Baihaqi
meriwayatkan dari jalan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
beliau berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Yaitu: kecintaan (dalam hati)
dan jima’
(hubungan intim)….
Imam al-Qurthubi berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memberitakan
ketidakmampuan (manusia) untuk bersikap adil di antara istri-istrinya, yaitu
(menyamakan) dalam kecenderungan hati dalam cinta, berhubungan intim dan
ketertarikan dalam hati. (Dalam ayat ini) Allah menerangkan keadaan manusia
bahwa mereka secara (asal) penciptaan tidak mampu menguasai kecenderungan hati
mereka kepada sebagian dari istri-istrinya melebihi yang lainnya. Oleh karena
itulah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata (dalam doa beliau), “Ya Allah, inilah pembagianku
(terhadap istri-istriku) yang aku mampu (lakukan), maka janganlah Engkau
mencelaku dalam perkara yang Engkau miliki dan tidak aku miliki”.
Kemudian Allah melarang “karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)”,
Imam Mujahid berkata, “(Artinya): janganlah kamu sengaja berbuat buruk (aniaya
terhadap istri-istrimu), akan tetapi tetaplah berlaku adil dalam pembagian
(giliran) dan memberi nafkah (biaya hidup), karena ini termsuk perkara yang
mampu (dilakukan manusia)”.
Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti (ayat di atas): Wahai
manusia, kamu sekali-kali tidak akan dapat bersikap adil (menyamakan) di antara
para istrimu dalam semua segi, karena meskipun kamu membagi giliran mereka
secara lahir semalam-semalam, (akan tetapi) mesti ada perbedaan dalam kecintaan
(dalam hati), keinginan syahwat dan hubungan intim, sebagaimana keterangan Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
‘Ubaidah as-Salmaani, Hasan al-Bashri, dan Dhahhak bin Muzahim”.
Kecemburuan dan Cara Mengatasinya
Cemburu
adalah fitrah dan tabiat yang mesti ada dalam diri manusia, yang pada asalnya
tidak tercela, selama tidak melampaui batas. Maka dalam hal ini, wajib bagi
seorang muslim, terutama bagi seorang wanita muslimah yang dipoligami, untuk
mengendalikan kecemburuannya. Karena kecemburuan yang melampaui batas bisa
menjerumuskan seseorang ke dalam pelanggaran syariat Allah, seperti berburuk
sangka, dusta, mencela[29],
atau bahkan kekafiran, yaitu jika kecemburuan tersebut menyebabkannya membenci
ketentuan hukum yang Allah syariatkan. Allah Ta’ala
berfirman,
{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ
أَعْمَالَهُمْ}
“Yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan (syariat) yang diturunkan Allah
sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka” (QS Muhammad:9).
Demikian
pula perlu diingatkan bagi kaum laki-laki untuk lebih bijaksana dalam
menghadapi kecemburuan para wanita, karena hal ini juga terjadi pada diri
wanita-wanita terbaik dalam Islam, yaitu para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menghadapi semua itu dengan sabar
dan bijaksana, serta menyelesaikannya dengan cara yang baik.
Imam
Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Asal sifat cemburu adalah merupakan watak bawaan bagi wanita,
akan tetapi jika kecemburuan tersebut melampuai batas dalam hal ini sehingga
melebihi (batas yang wajar), maka itulah yang tercela. Yang menjadi pedoman
dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Atik al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesunguhnya
di antara sifat cemburu ada yang dicintai oleh Allah dan ada yang dibenci-Nya.
Adapun kecemburuan yang dicintai-Nya adalah al-ghirah (kecemburuan) terhadap
keburukan. Sedangkan kecemburuan yang dibenci-Nya adalah kecemburuan terhadap
(perkara) yang bukan keburukan”.
Sebab-sebab yang mendorong timbulnya
kecemburuan yang tercela (karena melampaui batas) adalah:
–
Lemahnya iman dan lalai dari mengingat Allah Ta’ala.
–
Godaan setan
–
Hati yang berpenyakit
–
Ketidakadilan suami dalam memperlakukan dan menunaikan
hak sebagian dari istri-istrinya.
–
Rasa minder dan kurang pada diri seorang istri.
–
Suami yang menyebutkan kelebihan dan kebaikan seorang
istrinya di hadapan istrinya yang lain.
Adapun cara mengatasi kecemburuan ini
adalah:
–
Bertakwa kepada Allah Ta’ala.
–
Mengingat dan memperhitungkan pahala yang besar bagi
wanita yang bersabar dalam mengendalikan dan mengarahkan kecemburuannya sesuai
dengan batasan-batasan yang dibolehkan dalam syariat.
–
Menjauhi pergaulan yang buruk.
–
Bersangka baik.
–
Bersikap qana’ah
(menerima segala ketentuan Allah I dengan lapang dada).
–
Selalu mengingat kematian dan hari akhirat
–
Berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkan kecemburuan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar