Benarkah Adil Menjadi Syarat Poligami
Fakta
Hukum Poligami
Poligami
pada dasarnya dihalalkan oleh Allah SWT, berdasarkan:
فنكحؤا
ما طا ب لكم من ا النساء متثى و ثلثى و ربع
“Nikahilah
oleh kalian wanita-wanita yang kalian sukai, dua, tiga atau empat..”
(QS An-Nisa/4:3)
Rasulullah
SAW pun tidak melarang tindakan poligami para sahabatnya. Bahkan ketika Ghoilan
bin Salamah memiliki istri 10, Rasulullah memerintahkannya untuk memilih empat
istri dan menceraikan selebihnya. Perintah yang sama juga beliau tujukan kepada
Qois bin Tsabit (yang memiliki delapan istri) dan kepada Naufal bin Muawiyyah
(yang memiliki lima istri). Rasulullahpun pernah melarang seorang istri untuk
meminta suaminya menceraikan madunya (HR Ibnu Hibban dari Abu Hurairah). Hal
ini menunjukkan bahwa poligami bukan perkara yang dilarang, selama jumlah istri
tidak melebihi empat orang.
Ada
yang berdalil bahwa Rasulullah SAW pernah marah besar ketika Fathimah akan
dipoligami Ali bin Abi Thalib dengan anak Abu Jahal. Rasulullah bahkan berkata:
“..Apa yang
menyakitinya (Fathimah,red.), menyakiti hatiku…”.
Dalam hal ini tentu harus dipahami mengapa Rasulullah SAW marah besar, apakah
karena beliau mengharamkan poligami atau karena hal lain? Mari kita lihat sabda
Rasulullah SAW secara jernih terkait poligaminya Ali ra. :”..dan
sungguh aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang
haram, akan tetapi demi Allah, jangan sekali-kali putri utusan Allah bersatu
dengan putrid musuh Allah” (HR. Bukhari)
Dari
hadits ini dapat dipahami bahwa Rasulullah marah besar bukan karena beliau
mengharamkan poligami, akan tetapi terkait dengan latar belakang calon istri
Ali adalah anak musuh Allah, yaitu Abu Jahal.
Jadi,
poligami tidak dilarang bahkan tidak akan berdampak buruk pada manusia. Allah
SWT telah menjamin bahwa Ia tidak akan berbuat dzalim terhadap manusia.
Allahlah yang mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk bagi manusia.
Terhadap yang buruk pasti Allah haramkan sementara terhadap yang baik pasti
Allah halalkan. Allah SWT berfirman:
فعسى
ان تكرهؤا شيءا و هو خير لكم و عسى ان تحبؤا شيءا و هو شر لكم الله يعلم و انتم لا
تعلمؤن
“..Maka
boleh jadi kalian benci sesuatu padahal ia baik bagi kalian, dan boleh jadi
kalian sukai sesuatu padahal buruk bagi kalian. Allah Maha mengetahuti sedang
kalian tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah:216)
Adapun
anggapan bahwa poligami kerap memunculkan KDRT, maka butuh penelaahan lebih
lanjut. Terlebih KDRT kerap juga terjadi pada pasangan yang monogami, lalu
ketika dalam pernikahan monogamy terjadi juga KDRT, apakah monogamy pun harus
turut dilarang bahkan diharamkan? Dari sini dapat dipahami bahwa ketika terjadi
KDRT -baik pada pasangan monogami atau poligami-, maka yang salah bukan
monogamy atau poligaminya, tetapi lebih pada praktek keduanya yang tidak sesuai
tuntunan Islam.
Poligami Boleh Namun Tidak Bersyarat
Allah
SWT telah menghalalkan poligami secara mutlak lewat firmannya:
فنكحؤا
ما طا ب لكم من ا النساء مثنى و ثلث و رباع فان خفتم ان لا تعدلؤا فواحدة او ما
ملكت ايمانكم، ذ لك ادنى الا تعؤلؤا
“Nikahilah
oleh kalian wanita-wanita(lain) yang kalian sukai, dua, tiga atau empat Tetapi
jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang
saja atau hamba sahaya yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar
kamu tidak berbuat dzalmi.” (QS. An-Nisa/4:3)
Al-Bukhari
meriwayatkan dari Urwah bin zubair, sesungguhnya dia pernah bertanya kepada
Aisayah ra. tentang firman Allah: “Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku
adil terhadap anak-anak yatim…” itu, lalu Aisyah berkata: Hai anak saudaraku,
Si yatim ini berada di pangkuan walinya dan hartanya dicampur menjadi satu. Si
wali tertarik akan harta dan kecantikan wajahnya. Lalu ia berkehendak untuk
mengawininya, tetapi dengan cara tidak adil tentang pemberian harta maskawin. Dia
tidak mau memberinya seperti yang diberikan kepada orang lain. Maka mereka
dilarang berbuat demikian, kecuali berlaku adil terhadap istri-istrinya,
padahal mereka sudah biasa memberi maskawin yang cukup tinggi.Begitulah, lalu
mereka itu disuruh mengawini perempuan-perempuan yang cocok dengan mereka,
selain anak-anak yatim.
Dari
sababun nuzul surat An-Nisa ayat 3 ini menunjukkan kepada kita bahwa ayat poligami
ini tidak berkaitan dengan perintah untuk menikahi anak-anak yatim, dua, tiga
atau empat sebaimana yang dipahami beberapa kalangan. Mereka berpandangan bahwa
poligami dibolehkan asal terhadap wanita-wanita yatim (dalam rangka menolong
mereka). Padahal ayat ini justru bermakna sebaliknya, dimana laki-laki
diperintahkan menikahi wanita-wanita yang non yatim. Namun berdasarkan pendapat
Jumhur ulama, bahwa perintah nikah dalam ayat tersebut menunjukkan kemubahan,
tak ubahnya dengan perintah makan dan minum (كلؤا و اشربؤا). Sekalipun bentuk kalimatnya adalah perintah, akan tetapi status
hukumnya adalah mubah/boleh.
Keadilan Bukan Syarat Dalam Berpoligami.
Kalimat: لا تعدلؤا فواحدة فان
خفتم ان
Tidak
menunjukkan syarat, karena kata tersebut tidak tergabung dengan -atau merupakan
bagian dari- kalimat sebelumnya, tetapi sekedar kalam mustanif (kalimat
lanjutan) dari kalimat sebelumnya. Jika adil menjadi syarat, maka kalimatnya
harus tersambung,
seperti: فانكحؤا ما طاب لكم من الساء مثنى و ثلاث و رباع ان عدلتم
Dari
sini dapat dipahami bahwa adil adalah hukum lain yang wajib ditunaikan oleh
laki-laki ketika ia berumah tangga.
Di
samping itu, sesuatu perkara akan dikatagorikan syarat jika:
1) perkara
tersebut bukan bagian dari perbuatan yang dipersyaratkan. Dalam hal ini adil
merupakan bagian dari perbuatan poligami (konsekuensi dari sebuah pernikahan,
seperti memberi nafkah, mempergauli dengan baik, dll yang menjadi paket dari
setiap pernikahan);
2)
harus dipenuhi sebelum
perbuatan yang dipersyaratkan itu dilaksanakan. Sebagai contoh, suci dari
hadats dan najis adalah syarat sah sholat. Maka suci dari hadats dan najis
harus ada sebelum sholat dilakukan.
Seperti Apa Keadilan Dalam Poligami?
Allah
SWT telah memerintahkan lakilaki yang berpoligami agar berbuat adil terhadap
istri-istrinya. Tentu saja keadilan di sini bukanlah keadilan yang mutlak
(keadilan yang tidak biasa dilakukan oleh suami), tetapi sebatas yang masih
berada dalam kemampuan manusia untuk merealisaikannya, karena Allah tidak akan
membebani manusia kecuali dalam batas kesanggupannya. Firman Allah: لا يكلّف الله نفسا الا وسعها (Allah tidak akan membebani jiwa
kecuali sesuai kemampuannya [QS. Al-Baqarah:286] )
Sekalipun
kata adil dalam ayat ke 3 dari surat an-Nisa: لا تعدلؤا فواحدة فان
خفتم ان
bersifat
umum (mencakup semua bentuk keadilan), ayat ini ditakhsis (dikhususkan) sesuai
dengan kemampuan manusia berdasar QS an-Nisa ayat 129:
و
لن تستطيعؤا ان تعدلؤا بين النساء و لؤ حرصتم فلا تميلؤا كل الميل فتذرؤها
كالمعلقة
“Dan
sekali-kali kamu tidak akan pernah mampu berlaku adil di antara istri-istrimu,
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cinta), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung..”
Ibnu
Abbas di dalam tafsirnya terhadap kata-kata : و لن تستطيعؤا ان تعدلؤا بين النساء
adalah
dalam hal cinta (الحب ).
Sehingga ayat ini mengkhususkan ayat ke tiga dari surat an-Nisa, dimana manusia
hanya bisa berlaku adil dalam hal di luar cinta (termasuk jima).
Oleh
karena itu adil yang dituntut adalah di luar cinta, seperti mendapatkan nafkah,
giliran bermalam dsb. Sehingga hak-hak istri tidak terabaikan.
Hal
ini senada dengan doa Rasulullah SAW:
اللهم
ان هذا قسمي فيما املك فلا تلمني فيما تملك و لا املك
”Ya
Allah, sungguh pembagianku adalah pada apa yang aku sanggupi (miliki), maka
janganlah Engkau masukkan diriku ke dalam perkara yang Engkau sanggupi (miliki)
namun aku tidak memiliki kesanggupan”, yang dimaksud adalah
hatinya/cintanya
Ayat ini (An-Nisa: 129), juga tidak membatalkan kebolehan poligami di ayat ke tiganya, akan tetapi justru memperkuat. Karena, jika seandainya membatalkan maka Allah akan mengatakan:
و
لن تستطيعؤا ان تعدلؤا بين النساء و لؤ حرصتم فلا تنكحؤا
= Dan
sekali-kali kamu tidak akan pernah mampu berlaku adil di antara istri-istrimu,
maka janganlah kamu menikah..,
Akan
tetapi Allah justru menyatakan:
فلا تميلؤا كل الميل و لن تستطيعؤا ان تعدلؤا بين
النساء و لؤ حرصتم
= Dan
sekali-kali kamu tidak akan pernah mampu berlaku adil di antara istri-istrimu, maka
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cinta)…
Kebolehan Poligami Bersifat Mutlak.
Sekalipun
ayat tentang kebolehan poligami tidak mengandung syarat, namun ada hal-hal yang
menjadi implikasi positif dari adanya poligami yaitu, pada masyarakat yang
membolehkan poligami tidak akan ditemukan wanita simpanan, sedang pada
masyarakat yang menghalangi poligami akan sangat mungkin banyak terdapat wanita
simpanan. Di samping itu, poligami dapat memecahkan problematika dalam
masyarakat, seperti:
1. Ada
tabiat laki-laki yang tidak puas dengan satu istri, sehingga jika poligami
dihalangi maka zina, HIV/Aids dan aborsi akan merajalela
2. Kondisi
dimana wanita mandul, tapi suami masih mencintainya, sementara ia ingin
memiliki anak dari darah dagingnya. Jika pintu poligami ditutup, ia tidak akan
memiliki anak, bahkan nekad untuk menceraikan istri yang ia cintai. Oleh
karenya butuh ada kesempatan untuk menikah lagi, dimana ia dapat tetap hidup
bersama dengan istri tua yang dicintainya dan memiliki anak
3. Dalam
kondisi istri sakit sehingga tidak bisa melayani suami dan anak-anaknya,
sementara mereka masih sayang dan tidak ingin bercerai
4. Dalam
kondisi terjadi peperangan, dimana banyak korban jatuh, sehingga banyak janda
yang tidak bisa menecap lagi nikmatnya kehidupan rumah tangga
5. Pertumbuhan
laki-laki dan wanita yang tidak imbang, dimana jumlah wanita lebih banyak dari
laki-laki.
Kelima poin ini adalah fakta yang bisa dipecahkan lewat poligami.
Dalam kondisi tidak ada fakta tersebut sekalipun, syariah Islam tetap membolehkan
laki-laki untuk berpoligami. Wallahu A’lam
Khotimah
Islam
adalah agama yang sempurna yang diturunkan Allah untuk kebaikan manusia.
Allahlah yang mengetahui baik buruknya sesuatu bagi manusia. Ketika Allah
menurunkan sebuah ketetapan, dijamin tidak akan menyengsarakan manusia apalagi
mendzaliminya. Poligami adalah salah satu syariat yang ditetapkan Allah terkait
dengan pernikahan. Ketika terjadi keburukan dalam pelaksanaannya, maka hokum
poligami tidak harus dipersalahkan bahkan dipandang biangkerok segala
keburukan. Justru pelaku poligamilah yang tidak mau terikat dengan hukum-hukum
yang menjadi konsekuensi sebuah pernikahan. Keburukan bisa juga terjadi pada
pernikahan monogamy. Sehingga bukan status monogamy atau poligami yang harus
dipersalahkan. Karena jika hal ini terjadi maka pernikahan monogamy pun akan
terancam untuk dipersalahkan dan pelakunya dikriminalkan. Akankah manusia
dibiarkan hidup bebas bersama lawan jenisnya tanpa ikatan sah apapun? Jika ini
terjadi, menjadi bukti bahwa penduduk di negeri ini telah terperangkap oleh
jebakan liberalisasi yang kian menggila! Na’udzubillahi min dzlik!
Rujukan:
1) Al-Qur’anul
Karim
2) Tafsir
Ibnu Katsir versi Arab
3) Tafsir
Ayat Ahkam versi Arab hal 320 Bab Ta’addud az-zaujaat fil Islam
4) Kitab
An-nidzam al-ijtimai Bab ta’adud az-zaujaat
5) Makalah-makalah
lepas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar