Kolom Pencarian

Kamis, 13 Oktober 2016

Hermaneutika Al-Qur'an


HERMENEUTIKA AL-QUR’AN 
KENISCAYAAN ATAU KENISTAAN?*
Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi**

Pendahuluan

Hermeneutika telah menjadi salah satu pemikiran yang laku keras di berbagai perguruan tinggi Islam, khususnya ketika diedarkan di UIN dan IAIN. Banyak pelanggan telah mengkonsumsi pemikiran Barat tersebut lalu merasa ketagihan. Ini dikarenakan hermeneutika menstimulir munculnya rasa bangga lagi hebat pada jiwa pecandunya, seakan-akan menawarkan sesuatu yang baru, segar, dan spektakuler. Maka hermeneutika dianggap suatu keniscayaan bagi siapa saja. Sementara yang tidak berhemeneutika ria, dikecam dengan berbagai stigma negatif. Misalnya dianggap "mau benarnya sendiri", atau penafsirannya disudutkan sebagai "kesewenang-wenangan penafsiran" (interpretif despotism) (Amin Abdullah dalam Faiz, 2005).

Walhasil, hermeneutika yang semula merupakan tradisi interpretasi Bibel, telah disusupkan secara ilegal dalam tradisi keilmuan Islam dan diaplikasikan untuk menggantikan metode tafsir Al-Qur`an. Sebaliknya tradisi Islam yang genuine (asli) seperti metode penafsiran Al-Qur`an dan tafsir-tafsir klasik menjadi sasaran hujatan dan penistaan serta mau dibuang begitu saja layaknya sampah. (Husaini, 2005).

Padahal, hermeneutika semestinya dikaji dengan cermat, tidak ditelan bulat-bulat tanpa menggunakan otak, atau menggunakan otak tapi telah tercemar dengan polusi ideologi Barat yang kafir (kapitalisme-sekular). Karena sebenarnya hermeneutika bukan produk tradisi keilmuan Islam, melainkan berasal dari tradisi Yahudi/Kristen, yang di kemudian hari diadopsi oleh para teolog dan filsuf Barat modern menjadi metode interpretasi teks secara umum (Husaini, 2005).

Apa Itu Hermeneutika?

Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai teori atau filsafat tentang interpretasi makna (Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics, London : Routledge and Kegan Paul, 1980, hal. 12). (Triatmoko, 1993).

Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari kata kerja bahasa Yunani, hermeneuin, yang berarti menafsirkan. Kata bendanya hermeneia. Akar kata itu dekat dengan nama dewa Yunani yakni Dewa Hermes yang menjadi utusan atau pembawa pesan para dewa. Dewa Hermes berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang dimengerti manusia. Peranan semacam itulah yang kurang lebih mau dilakukan oleh para ahli tafsir Kitab Suci (Triatmoko, 1993).

Dalam The New Encyclopedia Britannica, dikatakan bahwa hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip umum dalam interpretasi Bible (hermeneutics is the study of the general principal of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Dalam sejarah interpretasi Bible, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu : Pertama, literal interpretation(1); Kedua, moral interpretation(2); Ketiga, allegorical interpretation(3), dan keempat; anagogical interpretation(4). Dari model-model ini, yang menjadi arus utama sejak awal sejarah Kristen adalah model literal (model Antioch) dan model alegoris (model Alexandria). (Husaini, 2005).

Keempat model interpretasi Bible tersebut dipraktikkan sejak awal sejarah Kristen (abad ke-4 M), dengan tokohnya Saint Jerome, hingga berakhirnya Abad Pertengahan (abad ke-16 M) dengan tokohnya Marthin Luther.

Pada masa modern, hermeneutika dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Tokoh teolog Protestan ini dikenal sebagai Bapak Hermeneutika Modern yang pertama kali berusaha membakukan hermeneutika sebagai metode umum interpretasi yang tidak terbatas pada interpretasi kitab suci atau kitab sastera. Kemudian Dilthey (w. 1911) menerapkannya sebagai metode sejarah, lalu Hans-Georg Gadamer (1900- ) mengembangkannya menjadi ‘filsafat’, Paul Ricoeur menjadikannya sebagai ‘metode penafsiran fenomenologis-komprehensif’. Selain itu para filosof seperti Jurgen Habermas, Jacques Derrida, dan Michael Foucault, mengembangkan sebentuk "kritik hermeneutik", yaitu analisis atas proses pemahaman manusia yang sering terjebak dalam otoritarianisme, khususnya karena tercampurnya determinasi sosial-budaya-psikologis dalam kegiatan memahami sesuatu (Faiz, 2005).

Intinya, ada banyak puspa-ragam hermeneutika. Namun menurut Fahrudin Faiz dalam bukunya Hermeneutika Al-Qur`an (2005), ada tiga tipe hermeneutika. Pertama, hermeneutika sebagai cara untuk memahami. Contoh tokohnya adalah Schleiermacher, Dilthey, dan Emilio Betti. Kedua, hermeneutika sebagai cara untuk memahami suatu pemahaman. Tokohnya semisal Heidegger (w. 1976) dan Gadamer. Ketiga, hermeneutika sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman. Tokohnya semisal Jacques Derrida, Habermas, dan Foucault. (Faiz, 2005:8-10).

Dalam perspektif pendekatan hermeneutik, menurut Amin Abdullah, variabel pemahaman manusia sedikitnya melibatkan tiga unsur. Pertama, unsur pengarang (author). Kedua, unsur teks (text). Ketiga, unsur pembaca (reader). Ketiga elemen pokok inilah yang dalam studi hermeneutika disebut Triadic Structure (Faiz, 2005).

Hermeneutika Al-Qur`an

Seiring dengan hegemoni peradaban Barat atas Dunia Islam, hermeneutika pun mengalami perkembangan lebih jauh lagi, yakni diaplikasikan oleh para intelektual muslim liberal terhadap Al-Qur`an. Pelopornya adalah para modernis (pembaharu) muslim abad ke-19 M, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Ghulam Ahmad Parvez, dan Muhammad Abduh (Faiz, 2005).

Pada abad ke-20, dalam dekade 60-an hingga 70-an, muncul beberapa tokoh dengan karya-karya hermeneutik. Hassan Hanafi, Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh yang menafsirkan Al-Qur`an dengan metode hermeneutika (Mustaqim, 2003:104-117; Mustaqim & Syamsudin, 2002:149-167).

Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah ke analisis konteks, untuk kemudian "menarik" makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian Al-Qur`an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur`an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya (Faiz, 2005).

Lebih jauh merumuskan metode tersebut, Fahrudin Faiz dalam Hermeneutika Al-Qur`an (2005) menyatakan, ketika asumsi-asumsi hermeneutika diaplikasikan pada Ulum Al-Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas Ulum Al-Qur`an telah membahasnya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf Al-Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks" dalam penafsiran Al-Qur`an. Tapi, Faiz menyatakan bahwa kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka kata dia, harus ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang (Faiz, 2005).

Demikianlah Fahrudin Faiz berkhotbah menggurui umat Islam tentang apa dan bagaimana hermeneutika Al-Qur`an itu.

Menolak Hermeneutika

Hermeneutika al-Qur`an seperti yang diuraikan di atas wajib ditolak berdasarkan beberapa alasan berikut :

1. Hermeneutika Asal-Usulnya dari Tradisi Kafir

Hermeneutika sebenarnya sejak awal harus dicurigai, karena bukan berasal dari tradisi keilmuan Islam, melainkan dari tradisi keilmuan kafir, yaitu kaum Yahudi dan Kristen, yang digunakan sebagai metode untuk menafsirkan kitab agama mereka (Bible).

Allah SWT berfirman (artinya) :

"Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS Al-Hasyr [59] : 7)

Mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) ayat itu, adalah "apa yang diberikan selain Rasul kepadamu, maka janganlah kamu terima dia." (wa maa ataakum min ghairi ar-rasuul fa-laa ta’khudzuuhu). (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III (Ushul Al-Fiqh), Bab Madzhab Ash-Shahabi)

Maka jelaslah bahwa hermeneutika yang tidak datang dari Rasul, haram hukumnya diterima oleh umat Islam.

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab RA pernah memegang selembar Taurat. Nabi SAW melihatnya lalu bersabda,"Tidakkah aku telah mendatangkan sesuatu yang terang benderang bagimu, yang tidak tercemar dan tidak rusak. Andaikata Musa saudaraku menjumpaiku, niscaya dia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti aku." (Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizb Al-Tahrir).

Jika lembaran-lembaran Taurat saja ditolak oleh Islam, maka lebih-lebih lagi (min baabi aula) metodologi tafsirnya alias hermeneutika.

Namun sebagai catatan, Islam membolehkan kita mengadopsi sesuatu dari orang kafir selama tidak mengandung muatan pandangan hidup asing (value-free), seperti sains dan teknologi. Di sinilah makna sabda Nabi SAW : Antum a’lamu bi-umuuri dunyaakum (Kamu lebih tahu urusan-urusan duniamu) (HR Muslim). Adapun segala ide atau benda yang mengandung muatan pandangan hidup asing (value-bond/value-laden), seperti hermeneutika, Islam tidak dapat menerimanya.

Hermeneutika bukan termasuk sains dan teknologi yang bersifat universal, melainkan termasuk dalam peradaban (al-hadharah) yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan kufur yang bertentangan dengan Islam.

2. Hermeneutika Tidak Cocok Untuk Menafsirkan Al-Qur`an

Barangkali hermeneutika memang cocok (compatible) dengan Bible, yang sudah kehilangan nilai orisinalitasnya dan banyak masalah, seperti kontradiksi ayat dengan ilmu pengetahuan. Hermeneutika dapat diumpamakan tongkat untuk orang buta (cacat). Itu memang cocok dan sudah seharusnya demikian.

Contoh, dalam Mazmur (Psalm) 93 ayat 1 tertulis,"Yea, the world is established, it shall never be moved." Ayat ini menerangan bumi tidak bergerak, yakni sebagai pusat tatasurya (geosentris). Ayat ini secara literal bertentangan dengan temuan Copernicus dan Galileo yang menteorikan matahari sebagai pusat tatasurya (heliosentris). Di sinilah hermeneutika diperlukan untuk menafsirkan ayat tadi secara allegoris (kiasan), bukan dalam makna literalnya yang jelas akan menimbulkan kekacauan pemahaman atau bahkan kegoncangan iman Kristiani. Jadi, hermeneutika mungkin memang cocok untuk Bible, seperti halnya kebutuhan orang buta akan tongkat penuntunnya.

Tapi tongkat tidaklah diperlukan untuk orang yang matanya sehat. Al-Qur`an tidak memerlukan hermeneutika. Karena Al-Qur`an masih terjaga orisinalitasnya, dan tidak mengalami masalah-masalah seperti yang dialami Bible. Allah SWT berfirman (artinya) :

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur`an dan sesungghnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS Al-Hijr [15] : 9)

Jadi menerapkan hermeneutika untuk menginterpretasikan Al-Qur`an, adalah tidak cocok (incompatible). Ini bagaikan memberikan tongkat untuk menuntun berjalan kepada orang yang matanya sehat wal afiat.

Menurut Prof. Wan Mohd. Nur Wan Daud, hermeneutika teks-teks agama Barat bermula dari masalah-masalah besar, yaitu : (1) ketidakyakinan tentang kesahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak awal karena tidak adanya bukti materiil teks-teks yang paling awal, (2) tidak adanya laporan-laporan tentang tafsiran yang dapat diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma’, (3) tidak adanya sekelompok manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang itu. Nah, ketiga masalah besar yang dialami Bible ini, tidak dialami oleh Al-Qur`an (Husaini, 2005:304).

Yang mengerikan adalah, ada sebagian pemikir liberal yang kemudian mencoba membuktikan bahwa Al-Qur`an juga bermasalah, sebagaimana Bible. Tujuannya supaya penggunaan hermeneutika menemukan alasannya yang rasional. Mereka menggugat otentisitas teks Al-Qur`an yang disebut-sebut sebagai hasil dari hegemoni Quraisy, yang katanya bermotifkan politik belaka. Jelas ini sikap taqlid yang berbahaya. Ini dapat diumpamakan seperti orang yang sebenarnya bermata sehat, tapi ingin memakai tongkat untuk orang buta, supaya keren dan terlihat hebat. Akhirnya orang itu pergi ke rumah sakit untuk membutakan matanya, agar punya alasan kuat untuk memakai tongkat orang buta. Mengerikan, bukan?

3. Hermeneutika Semakin Mengokohkan Sekularisme

Dalam praktiknya untuk menafsirkan Al-Qur`an, hermeneutika justru mengokohkan sesuatu yang seharusnya dihancurkan umat Islam, yakni hegemoni sekularisme-liberalisme di Dunia Islam.

Sebagai contoh kasus, ingat kembali kasus draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) yang digagas oleh Siti Musdah Mulia. Draft tersebut telah menelorkan beberapa pasal berbahaya dan kontroversial. Misalnya, mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris laki-laki dan perempuan (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam waktu tertentu alias membolehkan kawin kontrak (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya.

Pasal-pasal sampah ini lahir karena metodologi yang digunakan untuk memahami Al-Qur`an adalah hermeneutika. Dengan hermeneutika, ayat-ayat Al-Qur`an ditundukkan pada sejumlah prinsip yang sekaligus merupakan pokok-pokok ide sekularisme. Menurut para penggagas CLD KHI, sejumlah ide yang menjadi paradigma draft itu adalah : (1) kesetaraan gender, (2) pluralisme, (3) hak asasi manusia, dan (4) demokrasi.

Dari sini jelaslah pola kerja hermeneutika dalam memperlakukan ayat Al-Qur`an di satu sisi, dengan ideologi Barat di sisi lain. Modus hermeneutika tidak lain dan tidak bukan adalah menyesuaikan Al-Qur`an dengan ideologi Barat, atau praktik ideologi Barat dalam realitas. Ibaratnya, Al-Qur`an sekedar ’makmum’, sementara ’imamnya’ adalah ideologi kapitalisme-sekular. Apa pun gerakan dan doa sang imam, makmum wajib mengikutinya dengan seksama, tanpa menyelisihinya apalagi mendahuluinya. Inilah bentuk "sholat jamaah" yang bid’ah dholalah dan munkar yang menjadi pola kerja khas hermeneutika. Kemungkaran keji inilah yang sering mereka sebut sebagai "kontekstualisasi Al-Qur`an" untuk menyesatkan umat Islam.

Hasil akhir dari aplikasi hermeneutika terhadap Al-Qur`an tentu saja bukan untuk kepentingan umat Islam apalagi untuk meninggikan agama Islam. Hasil akhirnya adalah justru untuk menyesatkan umat Islam, menghancurkan agama Islam, dan mengokohkan dominasi sekularisme di Dunia Islam.

Penutup

Penerapan metodologi hermeneutika untuk Al-Qur`an harus ditolak, karena hermeneutika berasal dari pandangan hidup kufur, tidak cocok untuk menafsirkan Al-Qur`an, dan hanya berujung pada pengokohan sekularisme yang kufur di Dunia Islam.

Kita semua wajib waspada, karena orang-orang yang mempropagandakan dan mengedarkan metode rusak ini bukan saja orang kafir, melainkan orang-orang yang di tengah-tengah kita, yang mengikuti orang-orang kafir itu. Sabda Nabi SAW,"Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan [hidup] orang-orang sebelum kamu. Sejengkal demi sejengkal sehasta demi sehasta, hingga kalau mereka masuk ke liang biawak (hujra dhab), kalian akan mengikuti mereka." Sahabat bertanya,"Apakah mereka itu orang Yahudi dan Nasrani?" Nabi SAW menjawab,"Siapa lagi?" (HR Bukhari dan Muslim).

Jelas kita tidak layak masuk ke lubang biawak (hujra dhab) karena kita manusia, bukan biawak. Hanya kenistaan kalau manusia harus hidup mengikuti pola, standar, atau perilaku binatang. Namun itu dapat saja terjadi, kalau ada di antara umat Islam ini yang mengikuti orang kafir, termasuk mengadopsi hermeneutika untuk menafsirkan Al-Qur`an. Ujungnya bukan kemulian, tapi malah kenistaan. Betul tidak? [ ]

--------

*Makalah disampaikan dalam Sarasehan Wacana Kontemporer, diselenggarakan oleh Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) PP Muhammadiyah, Sabtu 7 Juli 2007, di Gedung Pusbang Muhammadiyah Jl. Kaliurang Km 23,3 Sleman.

**Anggota Lajnah Tsaqofiyah DPD I HTI DIY; Dosen STEI Hamfara Yogyakarta; Pengelola Website www.khilafah1924.org; e-mail : shiddiq_aljawi@yahoo.com This email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it

CATATAN AKHIR :

(1). Literal interpretation adalah interpretasi sesuai makna yang jelas, mengikuti aturan tatabahasa dan konteks sejarahnya. Model ini banyak dianut oleh tokoh-tokoh Kristen seperti St. Jerome (IV M), Thomas Aquinas, Nicholas of Lyra, John Colet, Martin Luther, dan John Calvin. Contoh, dalam Imamat 11:1-46 ada daftar binatang yang haram dimakan, seperti unta, pelanduk, kelinci, babi hutan, burung rajawali, burung unta, burung camar, elang, burung pungguk, tikus, katak, landak, biawak, bengkarung, siput, bunglon. Menurut model literal interpretation, semua binatang yang disebut itu memang tidak boleh dimakan, sesuai makna literalnya (harfiyahnya).

(2) Moral interpretation, adalah interpretasi berdasarkan nilai-nilai etik dalam Bible. Misalnya dalam memahami daftar binatang haram di atas, bukan berarti tidak boleh memakan daging hewan tertentu (misalnya babi hutan), tapi lebih merupakan larangan untuk mempunyai sifat-sifat buruk yang secara imajinatif diasosiasikan dengan hewan-hewan itu, misalnya jangan rakus seperti babi hutan, dsb.

(3) Allegorical interpretation adalah interpretasi mengunakan makna alegoris (kiasan), tanpa mengabaikan makna literalnya, tetapi makna literal dianggap rendah dan perlu diangkat menuju makna kiasannya. Misalnya perahu nabi Nuh, diartikan secara kiasan sebagai suatu tipe organisasi gereja Kristen yang konon sudah dirancang Tuhan sejak dulu.

(4) Anagogical interpretation, adalah interpretasi dengan mencoba mencari makna-makna mistis dari angka-angka dan huruf Hebrew. Misalnya Jerussalem, diartikan "kota Tuhan di masa depan." (Husaini, 2005:290-292).

DAFTAR BACAAN

As-Sa’di, Abdurrahman Nashir, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur`an (Al-Qawa’id Al-Hisan li Tafsir A-Qur`an), Penerjemah Marsuni Sasaky & Mustahab Abdullah), (Jakarta : Pustaka Firdaus), 1997

Dahlan, Abd.Rahman, Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur`an (Disusun Berdasarkan Al-Qawa’id Al-Hisan li Tafsir A-Qur`an Karya Al-Sa’di), (Bandung : Mizan), 1998

Faiz, Fahruddin, Hermeneutika al-Qur`an Tema-Tema Konroversial, (Yogyakarta : elSAQ Press), 2005

Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat dari Dominasi Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press), 2005

Said, Busthami Muhammad, Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhum Tajdiduddin), Penerjemah Ibnu Marjan & Ibadurrahman, (Bekasi : Wacanalazuardi Amanah), 1995

Triatmoko, Bambang, "Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur", dalam Tim Redaksi Driyarkara (Ed), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama), 1993

Mustaqim, Abdul & Syamsudin, Sahiron (Ed), Studi Al-Qur`an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya), 2002

Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir : Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur`an Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta : Nun Pustaka Yogyakarta), 2003



Sabtu, 08 Oktober 2016

Surat Perjanjian Jual Beli Rumah dan Tanah


SURAT PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH DAN TANAH

Pada hari ini, Sabtu, tanggal 4 (empat) bulan Juni tahun 2016 (dua ribu enam belas), kami yang bertanda tangan di bawah ini :
 
..................................., bertempat tinggal di Kp. ................... , RT/RW. 00/00 Kel. .................... Kec. ......................... Kota ..................... 
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas namanya sendiri yang selanjutnya akan disebut juga sebagai Pihak Pertama (Penjual).
 
..................................., bertempat tinggal di Kp. ................... , RT/RW. 00/00 Kel. .................... Kec. ......................... Kota ..................... 
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas namanya sendiri yang selanjutnya akan disebut sebagai Pihak Kedua (Pembeli).

Kedua belah pihak yang bersangkutan diatas dengan ini menyatakan bahwa Pihak Pertama (Penjual) menjual kepada Pihak Kedua (Pembeli) berupa bangunan rumah dan tanah seluas 312 m2 (tiga ratus dua belas meter persegi) yang berdiri diatas Sertifikat Hak Milik No _______________ . Terletak di Kp. ...................., RT/RW. 00/00 ..................... Dan kedua belah pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian ini dengan syarat-syarat sebagai berikut :

Pasal 1
  1. Perjanjian jual beli ini akan berlaku 1 (hari) hari setelah ditandatanganinya perjanjian ini dan akan berakhir setelah rumah berpindah status kepemilikannya kepada pembeli yang baru.
  2. Segala kondisi yang ada pada rumah saat ini akan sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari Pihak Kedua (Pembeli).

Pasal 2
  1. Bangunan rumah dan tanah seluas 312 m2 (tiga ratus dua belas meter persegi) tersebut dijual seharga Rp 230.000.000,- (dua ratus tiga puluh juta rupiah).
  2. Pihak Kedua (Pembeli) membayar dengan uang muka sebesar Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) pada Pihak Pertama (Penjual) secara tunai pada saat ditandatanganinya perjanjian ini.
  3. Kekurangannya senilai Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) akan dibayar oleh Pihak Kedua (Pembeli) dengan cara mengangsur selama 3 (tiga) kali selama 3 (tiga) bulan. Dan tiap bulan Pihak Kedua (Pembeli) wajib membayar angsuran senilai Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) pada Pihak Pertama (Penjual).
  4. Dan pembayaran dianggap lunas bila pembayaran sudah mencapai nilai jual yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
 
Pasal 3
  1. Segala ketentuan yang belum diatur dalam perjanjian ini akan diatur selanjutnya dalam addendum yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian ini dan akan diputuskan secara bersama.
  2. Apabila suatu saat nanti terjadi sengketa terhadap isi dan pelaksanaan atas perjanjian ini, maka kedua belah pihak akan menyelesaikannya secara musyawarah.
  3. Dan apabila penyelesaian secara musyawarah tidak berhasil, maka kedua belah pihak sepakat untuk memilih menyerahkan pada pihak yang berwajib.

Demikian perjanjian ini disetujui dan dibuat serta ditanda tangani oleh kedua belah pihak dengan dihadiri saksi-saksi yang dikenal oleh kedua belah pihak, serta dibuat dalam rangkap dua bermateri cukup yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama.

 
Carita, 4 Juni 2016
Pihak Pertama                 Pihak Kedua







....................                    ....................





Saksi-saksi :

1. .................... (……………………)

2. .................... (……………………)

3. .................... (……………………)


Surat Perjanjian Sewa Rumah



SURAT PERJANJIAN SEWA RUMAH



Kami yang bertanda tangan di bahaw ini :

Nama              : …………………………

Umur               : ….. tahun

Pekerjaan        : …………………………

Alamat            : …………………………

Disebut sebagai Pihak Kesatu selaku Pemilik Rumah

Nama               : …………………………

Umur                : …..tahun

Pekerjaan        : …………………………

Alamat            : …………………………

Disebut sebagai Pihak Kedua selaku Penyewa Rumah

 
Pihak Kesatu beserta keluarga mengadakan persetujuan sebagai berikut :
  1. Pihak Kesatu beserta keluarga memperpanjang kontrakan rumah yang beralamat di Kp. …………………………Desa ………………………… Kecamatan ………………………… kepada Pihak Kedua dari tanggal ………………………… sampai dengan ………………………… dengan tambahan kontrak sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) dari kontrak awal sebesar Rp. 19.300.000 (sembilan belas juta tiga ratus ribu rupiah) Kwitansi terlampir.
  2. Dalam masa kontrak tersebut Pihak Kesatu tidak boleh mengontrakkan kepada pihak lain sebelum masa kontrak habis.
  3. Apabila rumah yang dikontrakkan dijual baik kepada Pihak Kedua maupun pihak lain sebelum masa kontrak habis maka Pihak Kesatu akan mengembalikan uang kontrakan kepada Pihak Kedua.
  4. Seluruh Ahli Waris dari Pihak Kesatu tidak akan mempermasalahkan/menggugat Rumah yang kontrakan tersebut kepada Pihak Kedua selama masa kontrakan masih berjalan.

Demikian Surat Perjanjian ini dibuat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, dan dapat dipertanggungjawabkan


...............……, …………………………

          Pihak Kedua                                                                                              Pihak Kesatu






  …………………………                                                                           …………………………

Saksi-saksi (Ahli Waris)

1. ………………………… (…………………)

2. ………………………… (…………………)

3. ………………………… (…………………)

Selasa, 04 Oktober 2016

Surat Pernyataan Nikah Siri

 
SURAT PERNYATAAN NIKAH SIRI


Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama                 : ………………………………
Tempat/Tgl lahir : ………………………………
Umur                  : ………………………………
Pekerjaan           : ………………………………
Alamat                : ………………………………

Menyatakan bahwa :

Nama                 : ………………………………
Tempat/Tgl lahir : ………………………………
Umur                  : ………………………………
Pekerjaan           : ………………………………
Alamat               : ………………………………


Adalah istri sah saya yang telah saya nikahi secara sah menurut hukum dan syari’ah Islam pada tanggal (tanggal nikah) dengan keadaan sadar dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan jika dikemudian hari terdapat hal-hal yang tidak diinginkan maka saya siap bertanggung jawab dan bersedia diproses secara hukum menurut undang-undang yang berlaku serta tidak akan melibatkan pihak manapun.



                                                                                           …………………., ………

             Saksi I                             Saksi II                                 Yang Menyatakan





(.............................) (.............................)           (.............................)


Diketahui,
Ketua RT. ……./……..







(.............................)


Senin, 03 Oktober 2016

Nasehat Bagi yang Berpoligami dan Dipoligami



Nasehat Bagi yang Berpoligami dan Dipoligami
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

1. Nasehat untuk suami yang berpoligami
a.      Bersikap adillah terhadap istri-istrimu dan hendaklah selalu bersikap adil dalam semua masalah, sekalipun dalam masalah yang tidak wajib hukumnya. Janganlah bersikap berat sebelah terhadap salah satu dari istri-istrimu.
b.      Berlaku adillah terhadap semua anakmu dari semua istrimu. Usahakanlah untuk selalu dekat dengan hati mereka, misalnya dengan menganjurkan istri untuk menyusui anak dari istri yang lain. Pahamkanlah kepada mereka bahwa mereka semua adalah saudara. Jangan biarkan ada peluang bagi setan untuk merusak hubungan mereka.
c.       Sering-seringlah memuji dan menyebutkan kelebihan semua istri, dan tanamkanlah kepada mereka keyakinan bahwa tidak ada kecintaan dan kasih sayang yang (abadi) kecuali dengan mentaati Allah Ta’ala dan mencari keridhaan suami.
d.      Janganlah menceritakan ucapan salah seorang dari mereka kepada yang lain. Janganlah menceritakan sesuatu yang bersifat rahasia, karena rahasia itu akan cepat tersebar dan disampaikannya kepada istri yang lain, atau dia akan membanggakan diri bahwa dia mengetahui rahasia suami yang tidak diketahui istri-istri yang lain.
e.      Janganlah kamu memuji salah seorang dari mereka, baik dalam hal kecantikan, kepandaian memasak, atau akhlak, di hadapan istri yang lain. Karena ini semua akan merusak suasana dan menambah permusuhan serta kebencian di antara mereka, kecuali jika ada pertimbangan maslahat/kebaikan yang diharapkan.
f.        Janganlah kamu mendengarkan ucapan salah seorang dari mereka tentang istri yang lain, dan tegurlah/laranglah perbuatan tersebut, supaya mereka tidak terbiasa saling menejelek-jelekkan satu sama yang lain.

2. Nasehat untuk istri pertama
a.      Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan ketahuilah bahwa sikap menentang dan tidak menerima akan membahayakan bagi agama dan kehidupanmu.
b.      Benahilah semua kekuranganmu yang diingatkan oleh suamimu. Karena boleh jadi itu merupakan sebab dia berpoligami. Kalau kekurangan-kekurangan tersebut berhasil kamu benahi maka bersyukurlah kepada Allah Ta’ala atas petunjuk-Nya.
c.       Berikanlah perhatian besar kepada suamimu dan sering-seringlah memujinya, baik di hadapan atau di belakangnya, terutama di hadapan keluargamu atau teman-temanmu, karena ini termasuk hal yang bisa memperbaiki hati dan lisanmu, serta menyebabkan keridhaan suami padamu. Dengan itu kamu akan menjadi teladan yang baik bagi para wanita yang menentang dan mengingkari syariat poligami, atau mereka yang merasa disakiti ketika suaminya berpoligami.
d.      Janganlah kamu mendengarkan ucapan orang jahil yang punya niat buruk dan ingin menyulut permusuhan antara kamu dengan suamimu, atau dengan madumu. Janganlah kamu mudah menyimpulkan sesuatu yang kamu dengar sebelum kamu meneliti kebenaran berita tersebut.
e.      Janganlah kamu menanamkan kebencian dan permusuhan di hati anak-anakmu kepada istri-istri suamimu dan anak-anak mereka, karena mereka adalah saudara dan sandaran anak-anakmu. Ingatlah bahwa tipu daya yang buruk hanya akan menimpa pelakunya.
f.        Jangalah kamu merubah sikap dan perlakuanmu terhadap suamimu. Janganlah biarkan dirimu menjadi bahan permainan setan, serta mintalah pertolongan dan berdolah kepada Allah Ta’ala agar Dia menguatkan keimanan dan kecintaan dalam hatimu.

3. Nasehat untuk istri yang baru dinikahi
a.      Ketahuilah bahwa kerelaanmu dinikahi oleh seorang yang telah beristri adalah kebaikan yang besar dan menunjukkan kuatnya iman dan takwa dalam hatimu, insya Allah. Pahamilah ini semua dan harapkanlah ganjaran pahala dari Allah atas semua itu.
b.      Gunakanlah waktu luangmu ketika suamimu berada di rumah istrinya yang lain dengan membaca al-Qur’an, mendengarkan ceramah-ceramah agama yang bermanfaat, dan membaca buku-buku yang berfaedah, atau gunakanlah untuk membersihkan rumah dan merawat diri.
c.       Jadilah engkau sebagai da’i (penyeru) manusia ke jalan Allah Ta’ala dalam hukum-Nya yang mulia ini. Fahamkanlah mereka tentang hikmah-Nya yang agung dalam syariat poligami ini. Janganlah engkau menjadi penghalang bagi para wanita untuk menerima syariat poligami ini.
d.      Janganlah bersikap enggan untuk membantu/mengasuh istri-istri suami dan anak-anak mereka jika mereka membutuhkan pertolonganmu. Karena perbuatan baikmu kepada mereka bernilai pahala yang agung di sisi Allah dan menjadikan suami ridha kepadamu, serta akan menumbuhkan kasih sayang di antara kamu dan mereka.
e.      Janganlah kamu membeberkan kekurangan dan keburukan istri yang lain dari suamimu. Jangan pernah menceritakan kepada orang lain bahwa suami berpoligami karena tidak menyukai istrinya yang pertama, karena ini semua termasuk perangkap setan.
f.        Jangan kamu berusaha menyulut permusuhan antara suami dengan istrinya yang lain, agar dia semakin sayang padamu. Karena ini adalah perbuatan namiimah (mengadu domba) yang merupakan dosa besar. Berusahalah untuk selalu mengalah kepadanya, karena ini akan mendatangkan kebaikan yang besar bagi dirimu.
Penutup
Demikianlah keterangan tentang poligami yang menunjukkan sempurnanya keadilan dan hikmah dari hukum-hukum Allah Ta’ala. Semoga ini semua menjadikan kita semakin yakin akan keindahan dan kebaikan agama Islam, karena ditetapkan oleh Allah Ta’ala yang Maha Sempurna semua sifat-sifatnya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 26 Dzulqa’dah 1430 H

Minggu, 02 Oktober 2016

Hikmah dan Manfaat Agung Poligami

Hikmah dan Manfaat Agung Poligami

Karena poligami disyariatkan oleh Allah Ta’ala yang mempunyai nama al-Hakim, artinya Zat yang memiliki ketentuan hukum yang maha adil dan hikmah  yang maha sempurna, maka hukum Allah Ta’ala yang mulia ini tentu memiliki banyak hikmah dan faidah yang agung, di antaranya:
Pertama: Terkadang poligami harus dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya jika istri sudah lanjut usia atau sakit, sehingga kalau suami tidak poligami dikhawatirkan dia tidak bisa menjaga kehormatan dirinya. Atau jika suami dan istri sudah dianugerahi banyak keturunan, sehingga kalau dia harus menceraikan istrinya, dia merasa berat untuk berpisah dengan anak-anaknya, sementara dia sendiri takut terjerumus dalam perbuatan zina jika tidak berpoligami. Maka masalah ini tidak akan bisa terselesaikan kecuali dengan poligami, insya Allah.
Kedua: Pernikahan merupakan sebab terjalinnya hubungan (kekeluargaan) dan keterikatan di antara sesama manusia, setelah hubungan nasab. Allah Ta’ala berfirman,
{وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا}
Dan Dia-lah yang menciptakan manusia dari air (mani), lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan karena pernikahan), dan adalah Rabbmu Maha Kuasa” (QS al-Furqaan:54).
Maka poligami (adalah sebab) terjalinnya hubungan dan kedekatan (antara) banyak keluarga, dan ini salah satu sebab poligami yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Ketiga: Poligami merupakan sebab terjaganya (kehormatan) sejumlah besar wanita, dan terpenuhinya kebutuhan (hidup) mereka, yang berupa nafkah (biaya hidup), tempat tinggal, memiliki keturunan dan anak yang banyak, dan ini merupakan tuntutan syariat.
Keempat: Di antara kaum laki-laki ada yang memiliki nafsu syahwat yang tinggi (dari bawaannya), sehingga tidak cukup baginya hanya memiliki seorang istri, sedangkan dia orang yang baik dan selalu menjaga kehormatan dirinya. Akan tetapi dia takut terjerumus dalam perzinahan, dan dia ingin menyalurkan kebutuhan (biologis)nya dalam hal yang dihalalkan (agama Islam), maka termasuk agungnya rahmat Allah Ta’ala terhadap manusia adalah dengan dibolehkan-Nya poligami yang sesuai dengan syariat-Nya.
Kelima: Terkadang setelah menikah ternyata istri mandul, sehingga suami berkeinginan untuk menceraikannya, maka dengan disyariatkannya poligami tentu lebih baik daripada suami menceraikan istrinya.
Keenam: Terkadang juga seorang suami sering bepergian, sehingga dia butuh untuk menjaga kehormatan dirinya ketika dia sedang bepergian.
Ketujuh: Banyaknya peperangan dan disyariatkannya berjihad di jalan Allah, yang ini menjadikan banyak laki-laki yang terbunuh sedangkan jumlah perempuan semakin banyak, padahal mereka membutuhkan suami untuk melindungi mereka. Maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.
Kedelapan: Terkadang seorang lelaki tertarik/kagum terhadap seorang wanita atau sebaliknya, karena kebaikan agama atau akhlaknya, maka pernikahan merupakan cara terbaik untuk menyatukan mereka berdua.
Kesembilan: Kadang terjadi masalah besar antara suami-istri, yang menyebabkan terjadinya perceraian, kemudian sang suami menikah lagi dan setelah itu dia ingin kembali kepada istrinya yang pertama, maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.
Kesepuluh: Umat Islam sangat membutuhkan lahirnya banyak generasi muda, untuk mengokohkan barisan dan persiapan berjihad melawan orang-orang kafir, ini hanya akan terwujud dengan poligami dan tidak membatasi jumlah keturunan.
Kesebelas: Termasuk hikmah agung poligami, seorang istri memiliki kesempatan lebih besar untuk menuntut ilmu, membaca al-Qur’an dan mengurus rumahnya dengan baik, ketika suaminya sedang di rumah istrinya yang lain. Kesempatan seperti ini umumnya tidak didapatkan oleh istri yang suaminya tidak berpoligami.
Keduabelas: Dan termasuk hikmah agung poligami, semakin kuatnya ikatan cinta dan kasih sayang antara suami dengan istri-istrinya. Karena setiap kali tiba waktu giliran salah satu dari istri-istrinya, maka sang suami dalam keadaan sangat rindu pada istrinya tersebut, demikian pula sang istri sangat merindukan suaminya.
Masih banyak hikmah dan faedah agung lainnya, yang tentu saja orang yang beriman kepada Allah dan kebenaran agama-Nya tidak ragu sedikitpun terhadap kesempurnaan hikmah-Nya dalam setiap ketentuan yang disyariatkan-Nya. Cukuplah sebagai hikmah yang paling agung dari semua itu adalah menunaikan perintah Allah Ta’ala dan mentaati-Nya dalam semua ketentuan hukum yang disyariatkan-Nya.
Arti Sikap “Adil” dalam Poligami
Allah Ta’ala memerintahkan kepada semua manusia untuk selalu bersikap adil dalam semua keadaan, baik yang berhubungan dengan hak-Nya maupun hak-hak sesama manusia, yaitu dengan mengikuti ketentuan syariat Allah Ta’ala dalam semua itu, karena Allah Ta’ala mensyariatkan agamanya di atas keadilan yang sempurna. Allah Ta’ala berfirman,
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS an-Nahl:90).
Termasuk dalam hal ini, sikap “adil” dalam poligami, yaitu adil (tidak berat sebelah) dalam mencukupi kebutuhan para istri dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan bermalam bersama mereka. Dan ini tidak berarti harus adil dalam segala sesuatu, sampai dalam hal yang sekecil-kecilnya, yang ini jelas di luar kemampuan manusia.
Sebab timbulnya kesalahpahaman dalam masalah ini, di antaranya karena hawa nafsu dan ketidakpahaman terhadap agama, termasuk kerancuan dalam memahami firman Allah Ta’ala
{وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ}
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (QS an-Nisaa’:129).
Marilah kita lihat bagaimana para ulama Ahlus sunnah memahami firman Allah yang mulia ini.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Sebagian dari para ulama ahli tafsir (menjelaskan makna firman Allah Ta’ala): “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu)…”, (artinya: berlaku adil) dalam perasaan yang ada dalam hati (rasa cinta dan kecenderungan hati), karena Allah Ta’ala mengampuni bagi hamba-hamaba-Nya terhadap apa yang terdapat dalam hati mereka. “…karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…” artinya: janganlah kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melakukan perbuatan (yang menyimpang dari syariat). Dan penafsiran ini sangat sesuai/tepat. Wallahu a’lam”.
Imam al-Bukhari membawakan firman Allah Ta’ala ini dalam bab: al-‘adlu bainan nisaa’ (bersikap adil di antara para istri), dan Imam Ibnu Hajar menjelaskan makna ucapan imam al-Bukhari tersebut, beliau berkata, “Imam al-Bukhari mengisyaratkan dengan membawakan ayat tersebut bahwa (adil) yang dinafikan dalam ayat ini (adil yang tidak mampu dilakukan manusia) adalah adil di antara istri-istrinya dalam semua segi, dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang shahih) menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan adil (dalam poligami) adalah menyamakan semua istri (dalam kebutuhan mereka) dengan (pemberian) yang layak bagi masing-masing dari mereka. Jika seorang suami telah menunaikan bagi masing-masing dari para istrinya (kebutuhan mereka yang berupa) pakaian, nafkah (biaya hidup) dan bermalam dengannya (secara layak), maka dia tidak berdosa dengan apa yang melebihi semua itu, berupa kecenderungan dalam hati, atau memberi hadiah (kepada salah satu dari mereka)…Imam at-Tirmidzi berkata, “Artinya: kecintaan dan kecenderungan (dalam hati)”, demikianlah penafsiran para ulama (ahli tafsir)…Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari jalan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Yaitu: kecintaan (dalam hati) dan jima’ (hubungan intim)….
Imam al-Qurthubi berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memberitakan ketidakmampuan (manusia) untuk bersikap adil di antara istri-istrinya, yaitu (menyamakan) dalam kecenderungan hati dalam cinta, berhubungan intim dan ketertarikan dalam hati. (Dalam ayat ini) Allah menerangkan keadaan manusia bahwa mereka secara (asal) penciptaan tidak mampu menguasai kecenderungan hati mereka kepada sebagian dari istri-istrinya melebihi yang lainnya. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (dalam doa beliau), “Ya Allah, inilah pembagianku (terhadap istri-istriku) yang aku mampu (lakukan), maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang Engkau miliki dan tidak aku miliki”. Kemudian Allah melarang “karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)”, Imam Mujahid berkata, “(Artinya): janganlah kamu sengaja berbuat buruk (aniaya terhadap istri-istrimu), akan tetapi tetaplah berlaku adil dalam pembagian (giliran) dan memberi nafkah (biaya hidup), karena ini termsuk perkara yang mampu (dilakukan manusia)”.
Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti (ayat di atas): Wahai manusia, kamu sekali-kali tidak akan dapat bersikap adil (menyamakan) di antara para istrimu dalam semua segi, karena meskipun kamu membagi giliran mereka secara lahir semalam-semalam, (akan tetapi) mesti ada perbedaan dalam kecintaan (dalam hati), keinginan syahwat dan hubungan intim, sebagaimana keterangan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Ubaidah as-Salmaani, Hasan al-Bashri, dan Dhahhak bin Muzahim”.
Kecemburuan dan Cara Mengatasinya
Cemburu adalah fitrah dan tabiat yang mesti ada dalam diri manusia, yang pada asalnya tidak tercela, selama tidak melampaui batas. Maka dalam hal ini, wajib bagi seorang muslim, terutama bagi seorang wanita muslimah yang dipoligami, untuk mengendalikan kecemburuannya. Karena kecemburuan yang melampaui batas bisa menjerumuskan seseorang ke dalam pelanggaran syariat Allah, seperti berburuk sangka, dusta, mencela[29], atau bahkan kekafiran, yaitu jika kecemburuan tersebut menyebabkannya membenci ketentuan hukum yang Allah syariatkan. Allah Ta’ala berfirman,
{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ}
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan (syariat) yang diturunkan Allah sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka” (QS Muhammad:9).
Demikian pula perlu diingatkan bagi kaum laki-laki untuk lebih bijaksana dalam menghadapi kecemburuan para wanita, karena hal ini juga terjadi pada diri wanita-wanita terbaik dalam Islam, yaitu para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi semua itu dengan sabar dan bijaksana, serta menyelesaikannya dengan cara yang baik.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Asal sifat cemburu adalah merupakan watak bawaan bagi wanita, akan tetapi jika kecemburuan tersebut melampuai batas dalam hal ini sehingga melebihi (batas yang wajar), maka itulah yang tercela. Yang menjadi pedoman dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Atik al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesunguhnya di antara sifat cemburu ada yang dicintai oleh Allah dan ada yang dibenci-Nya. Adapun kecemburuan yang dicintai-Nya adalah al-ghirah (kecemburuan) terhadap keburukan. Sedangkan kecemburuan yang dibenci-Nya adalah kecemburuan terhadap (perkara) yang bukan keburukan”.
Sebab-sebab yang mendorong timbulnya kecemburuan yang tercela (karena melampaui batas) adalah:
        Lemahnya iman dan lalai dari mengingat Allah Ta’ala.
        Godaan setan
        Hati yang berpenyakit
        Ketidakadilan suami dalam memperlakukan dan menunaikan hak sebagian dari istri-istrinya.
        Rasa minder dan kurang pada diri seorang istri.
        Suami yang menyebutkan kelebihan dan kebaikan seorang istrinya di hadapan istrinya yang lain.
Adapun cara mengatasi kecemburuan ini adalah:
        Bertakwa kepada Allah Ta’ala.
        Mengingat dan memperhitungkan pahala yang besar bagi wanita yang bersabar dalam mengendalikan dan mengarahkan kecemburuannya sesuai dengan batasan-batasan yang dibolehkan dalam syariat.
        Menjauhi pergaulan yang buruk.
        Bersangka baik.
        Bersikap qana’ah (menerima segala ketentuan Allah I dengan lapang dada).
        Selalu mengingat kematian dan hari akhirat
        Berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkan kecemburuan tersebut.